Damailah se-Damai Namamu

Aku, seorang gadis berusia 22 tahun yang pernah merawat seorang gadis kecil selama 3 tahun, harus benar-benar terpisah karena alasan ingin melanjutkan kuliah semasa masih 19 tahun. Saat itu gadis kecil itu masih kira-kira 3 tahun. Walaupun gadis kecil itu sudah tidak lagi dirawat olehku. Tapi kami masih sering bertemu. Kadang sekali seminggu, kadang sekali sebulan, kadang dua kali setahun. Yang penting ketika aku memang benar-benar memiliki waktu untuk berkunjung. Ataupun dia bersama ayah, ibu, dan adiknya yang datang ke tempat ku.
Aku, yang tak ingin menyebut nama asli si gadis kecil ini, begitu dekat dengannya. Mengapa tidak? Ketika umur 1 bulan, dia sudah ada di rumah bersamaku. Setiap hari selalu bersama karna memang aku yang mengasuhnya setiap pulang sekolah. Jika kau bertanya tentang orang tuanya, maka jawabannya adalah ayahnya saat itu bekerja di Jakarta hingga akhirnya memutuskan untuk pindah ke kota ku sekarang, sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Ibunya mengidap penyakit skizofrenia. Aku dan ayah si gadis kecil adalah saudara. Kami keluarga yatim piatu. Saat itu aku masih kelas 2 SMA.

Hubungan saling menguntungkan antar sesama saudara kandung. Maksudku adalah tolong menolong sesama saudara. Aku yang saat itu masih kelas 2 SMA dan tidak memiliki penghasilan seperti sekarang ini butuh seorang abang yang siap bertanggungjawab terhadap biaya kehidupan sehari-hariku beserta uang sekolahku. Sementara dia butuh seseorang yang bisa menjaga anaknya dan yang bisa menenangkan istrinya ketika penyakit yang dideritanya kambuh, sementara dia sedang bekerja. Tidak mudah bagiku untuk bisa bersabar ketika penyakitnya kambuh. Jujur, ada rasa takut, marah, dan malu. Tapi aku selalu bertanya pada diriku lagi, “Apakah dia memang pengen memiliki penyakit yang seperti itu? Memangnya siapa yang pengen memiliki penyakit itu? Apakah kita bisa memilih penyakit apa yang akan menyerang kita? Apakah jika memiliki penyakit seperti itu, maka dia bukan manusia lagi?” begitulah kira-kira. 
Terlepas dari bagaimana caraku bersabar, terlepas dari bagaimana aku menghadapi ibunya, terlepas dari bagaimana kelanjutan ceritaku tentangku dan ibunya, mari kita kembali ke cerita yang benar-benar ingin kuceritakan. Karna pada saat dihadapkan dengannya pun aku sudah besar. Setidak-tidaknya aku sudah memiliki tingkat kematangan dalam berpikir lebih besar daripada adik kecilku ini.

Setelah bekerja, aku semakin jarang datang mengunjungi nya. Ketika dia datang ke tempatku pun bersama ayah, ibu, dan adik-adiknya, aku jarang mengajaknya keluar. Semester lalu dia sudah mulai masuk sekolah TK. Aku benar-benar melihat wajah bahagianya ketika pertama kali masuk sekolah. Dan semua berjalan begitu saja. Aku sering mengunjunginya di semester ini. Pernah sekali, ibunya menyuruhku untuk membeli sarapan di dekat sekolahnya. Karna aku tidak tau letak sekolahnya, aku memintanya untuk ikut bersamaku. Dia pun mau. Sampai di sana, si ibu penjual sarapan pagi setelah beberapa perkataan salam pembuka selayaknya penjual dan pembeli, berkata kepada adik kecilku, “dik (sebenarnya dia memanggil nama adik kecilku, hanya saja aku tidak ingin memberitahu namanya), gimana kabar ibumu? masih kumat kah? kok bisa kumat?“ Aku melihat adikku diam tanda tak ingin menjawab pertanyaan si ibu penjual sarapan. Kemudian aku melihat ibu itu sedang senyum seraya menunjukkan giginya. Aku tak tau maksudnya apa ? Apakah dia sengaja ? atau memang serius untuk bertanya keadaan ibunya ? Lalu jika dia memang ingin serius bertanya keadaan ibunya si adik kecilku ini, kenapa dia tidak bertanya padaku ? kupikir aku lebih layak memberikan sebuah jawaban. Setidak-tidaknya karna aku yang jauh lebih dewasa daripada adik kecilku ini.

Diperjalanan pulang, adik kecilku ini berkata padaku, “Bou (sebutan kami pada saudara perempuan ayah), aku gak suka lihat ibu tadi. Dia suka mengejek mama. Aku gak suka mama diejek.” Tentu saja tidak mungkin anak berusia 5 tahun bisa berkata sedemikian rupa jika memang si penjual sarapan itu tidak mengatakannya berulang-ulang. Mendengar perkataan adik kecilku itu, aku benar-benar terdiam. Aku kembali mengingat ketika kami masih di rumah yang sama. Lagi-lagi aku harus mengulang kalimat ini, “tidak mudah untuk bersabar ketika penyakit nya kambuh”. Ada perasaan takut, marah, dan malu. Tapi apakah perasaan takut, marah, dan malu ini akan mampu menyembuhkannya? Tidak? Sekali lagi kukatakan, tidak ada yang menginginkan penyakit itu menghampiri keluarga kita. Tidak ada.
Aku bisa memaklumi si penjual sarapan itu jika bertanya padaku. Setidak-tidaknya aku sudah lebih berlapang dada daripada adik kecilku itu atau aku sudah lebih mampu menahan beban itu. Hingga tulisan ini ada pun aku masih sedikit kesal mengingat kejadian itu.
Sebelum aku pulang ke tempatku, aku berkata pada adik kecilku, “Kamu anak yang baik. Kamu harus kuat. Berjanjilah ketika ada yang mengejek ibumu lagi, jangan pernah dendam maupun membalasnya.” Walaupun berat, memangnya boleh gak dijalani? Toh harus dijalanin juga kan? Apalagi dia anak pertama, adiknya ada dua lagi. Bukankah biasanya adiknya akan mencontoh kelakuan kakaknya terlebih dahulu sebelum meniru orang tuanya? Karna pastinya, seorang adik akan lebih sering bermain bersama kakaknya.
 Semester ini tentu saja dia sudah bisa mengeja. Dia sering menulis sebuah surat di selembar kertas. Ntah siapa yang mendidiknya seperti itu. Dalam hal ini kami mirip. Aku juga seorang yang gemar menulis di selembaran kertas. Aku tak suka punya buku diary. Hahaha…

Beberapa minggu yang lalu, ayahnya mengirimiku sebuah foto. Foto itu adalah selembar kertas berisikan tulisan adik kecilku itu. Isinya ~setelah sedikit ku-perbaiki agar mudah dimengerti~, adalah “bapak aku minta maaf. Tetaplah mendidikku. Aku berjanji akan menjadi anak yang baik. Tolong luangkan waktumu untuk mengajariku membaca.” Aku meneteskan air mata membacanya. Bahkan ketika kutuliskan cerita ini pun air mataku kembali menetes.

Tiga hari kemudian, ayahnya mengirimiku kembali sebuah foto, kertas berisi tulisan tangan, pastinya itu adalah tulisan tangan adik kecilku itu. Isinya ~setelah sedikit kuperbaiki agar mudah dimengerti~, “mama, aku minta maaf. Aku berjanji akan menjadi anak yang baik. Tolong jangan gila lagi”. Lagi-lagi air mataku menetes lagi. Dan kali inipun masih sama.

Hai adik kecilku. Tubuhmu kecil, tapi jiwamu besar. Aku pernah di posisimu, yaitu ketika kau masih batita, dan aku dibully karna hal itu. Dan itu sudah sangat berat. Tapi walaupun begitu, aku merasakannya ketika aku sudah besar. Sementara kau, sebegitu kecilnya tubuhmu menerima beban itu. Kau benar-benar terbaik. Aku benar-benar kagum padamu. 

Jika tulisan ini muncul ketika kau sudah dewasa dan kau membacanya, maka aku sedang benar-benar menyampaikan rasa kagumku padamu melalui tulisan ini.  Percayalah tidak mungkin Tuhan diam dan tutup mata pada setiap tangis dan sedihmu. Tetaplah damai sedamai namamu sampai selama-lamanya. Tetaplah memberi kedamaian pada sekelilingmu sampai selama-lamanya. Jadilah obat bagi ibumu yang sakit. Jadilah tempat berteduh bagi ayahmu yang lelah.

Salam dariku, pengagummu.
Ceria

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisi Lain Hidup

SURAT PENGUNDURAN DIRI-CERIA