Anjing Hitam dan Kain Putih


Hari ini, tepat dua tahun lalu, ketika waktu harus membuatmu pergi ke pulau seberang untuk ikut pelatihan militer mu itu, aku begitu ingat dengan jelas air mata yang menetes di pipiku karna tak ingin jauh darimu. Pelukan sebelum kau benar-benar pergi dan rasa tak ingin melepaskannya. Dan janji untuk saling menghubungi satu sama lain. Bagaimana mungkin aku mengacaukan keinginanmu itu dengan memintamu untuk terus bersamaku di sini, sementara kau telah lama menginginkan untuk menjadi bagian dari angkatan militer di negri ini. Lagipula aku tak mau itu terjadi. Aku juga ingin ikut denganmu, tapi aku juga sedang dipertengahan kuliahku. Sementara aku juga tak mau meninggalkannya dan pergi bersamamu.
Hari ini, hari yang mengingatkanku akan beberapa usaha yang telah kita lalui bersama untuk tetap saling berkomunikasi antar dua pulau. Saling berbagi cerita dan merayakan hal-hal yang pantas dirayakan dengan video call. Sama seperti pasangan LDR lainnya. Cukup sulit bagi kita untuk mencari waktu yang tepat agar kita bisa saling komunikasi. Tapi, pikirku, ini adalah bumbu-bumbu keromantisan dalam percintaan. “Naif sekali aku ini,” kataku sambil tersenyum memegangi hp ini setelah kita selesai berbicara lewat video call itu, pagi itu.
Seperti yang kau tau, perjalanan kuliahku juga begitu-gitu aja. Karna hari ini aku ada kelas pagi, jadi aku berangkat pagi. Kemudian, sejak pukul 10.30 nanti aku akan menunggu sangat lama sampai jam kuliah keduaku tiba, yaitu pukul 16.15. Yang kulakukan di sela-sela perkuliahan juga seperti biasa, nongkrong di salah satu cafĂ© yang agaknya jauh dari kampus, niat kami supaya waktu berputar sedikit lebih cepat. Tapi ntah kenapa, hari ini aku tidak melakukannya. Hari ini sepertinya badanku sedikit lelah. Mungkin karna semalam aku begadang nonton drama korea yang begitu menyedihkan itu. “Bagaimana bisa drama korea memiliki ending cerita yang menyedihkan. Benar-benar tidak cocok untuk sebuah drama yang sudah dinobatkan menjadi drama romantis di sepanjang masa,” pikirku seraya mengingat ending drama korea yang kutonton semalam.
Selesai kuliah hari ini, aku juga langsung pulang ke rumah. “Kamu benar-benar akan langsung pulang?” Tanya Ceria padaku. Memang tidak seperti biasanya dimana kami akan pergi nongkrong atau jalan-jalan di sekitar kampus sampai matahari benar-benar terbenam. “Sepertinya aku benar-benar kelelahan. Mataku sangat berat, kepalaku juga sakit. Aku gak mau tumbang ketika sedang bersama kalian,” kataku padanya. Ahh.. sebelum aku lupa, aku punya 3 sahabat dekat sejak semester satu, aku memanggil mereka dengan sebutan, Ce (Ceria), Ayy (Sari), dan Jeph (Jefri), dan namaku Talenta. Kuperkenalkan sekarang, karna mungkin nanti aku akan menyebut nama mereka lagi. Aku tinggal di kontrakan sederhana bersama Ceria dan Sari. Tapi, selain kembali ke tempat masing-masing, kami berempat selalu bersama.
Aku pulang ke kontrakan sendiri. Setibanya di kontrakan, aku masak, makan, mandi dan nonton. Kulihat jam di dingding sudah pukul 8 malam. “Tumben lama,” kataku karna biasanya kami sudah di kontrakan jam segitu. Niatku mau menghubungi mereka, sebelum aku malah di telepon Zoel, pacarku yang sedang di pulau sebrang. Akhirnya aku malah ngobrol panjang kali lebar hingga aku benar-benar terlelap dalam tidurku.
Alarm hpku berbunyi di pukul 6.30, aku bangun dan “wah.. Bagaimana bisa mereka gak pulang,” kataku sambil memegangi kepalaku yang sangat pusing. Langsung kuhubungi Ceria, karna biasanya dia yang paling cepat bangun di antara kami bertiga. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif …” Kata operator telepon itu. Kuhubungi Sari dan “Wah.. Kukira kamu sudah tak butuh kami lagi. Jika kamu mengunci pintu, kami sudah sering mengatakan untuk mengambil kunci dari pintu itu, supaya kami bisa masuk ke dalam. Atau kalau pintu sudah diketuk, harusnya kamu membukanya!” katanya dengan nada tinggi. Dia langsung mematikan telepon itu begitu mengatakannya. Dia memang seperti itu, blak-blakan, tapi mudah luluh juga hatinya.
Kepalaku terasa sangat berat, aku bahkan mual-mual, seolah-olah perutku telah dikocok-kocok. Kutelpon lagi Sari, “Ayy.. Tolong belikan obat pereda sakit kepala, dan mual-mual,” kataku yang ternyata dijawab oleh Ceria, “mm. Kami pulang sekarang. Bentar ya”. Sejam kemudian mereka tiba, setelah memberiku sarapan bubur dan minum obat, Ceria bertanya, “Semalam Zoe nelpon kamu?”
“ya.”
“tadi dia ngechat, tapi aku yang buka. Dia nanya kabar kamu.”
“Itu biasa terjadi antara pasangan! Cepat cari pacar makanya.”
“Lho, bukannya aneh kalau semalam kalian nelpon, tapi pagi-pagi malah nanya kabar?”
“Itu karna dia tau kalau aku sakit. Aku tidur dulu. Bilang sama komting kalau aku sedang tidak bisa masuk kelas. Dan tolong tutup pintunya.”
Mendengar jawabanku, mungkin, membuat dia ingin menyampaikan pada Zoel kalau aku sedang sakit. Aku menyadari dia mengambil hp ku.
Ceria menelpon Zoel pagi itu, dan mereka sedikit berbincang.
“Halo Zoe, selamat pagi.”
“Lho, kok kamu yang nelpon? Talenta dimana?” tanyanya karna menyadari suara Ceria.
“Talenta sakit. Pusing, katanya. Mual-mual juga.”
Zoel terdiam cukup lama hingga Ceria yang memulai bertanya lagi.
“Semalam kamu nelpon dia. Tapi tadi pagi kamu chat dia dengan menanyakan kabar? Sebegitu rindunya kah kamu padanya?”
“Iya. Semalam kami nelpon cukup lama. Setidaknya sampai suara orang lain muncul.”
“Maksudmu?”
“Ada suara perempuan yang mengancam dia. Katanya, hati-hati Talenta.”
“Oh.. Mungkin maksudmu suara hantu. Karna semalam Talenta tidur sendiri di sini.” Candanya.
“Tapi aku serius.”
“Sudahlah! Kalau terjadi lagi, baru aku percaya.”
Melihat aku yang sedang sakit, Ceria memutuskan untuk tidak kuliah. Walaupun kataku karna dia malas saja. hahaha..
Karna tidak kuliah, Ceria membersihkan rumah dari pagi hingga sore. Dia merapikan rak buku, rak sepatu, lemari TV, dan tentunya juga lemari pakaianku yang berantakan. Dia benar-benar membersihkan semuanya. Dia bahkan menyuruhku yang sedang sakit untuk pindah ke depan TV, supaya dia bisa membersihkan kamar. Hingga pekerjaan terakhir yang dia lakukan, menyuci piring. Dan dari situ lah dimulai setiap keanehan ini.
Saat aku sedang menonton TV, ada yang mengatakan padaku, “hati-hati Talenta” dari balik pintu menuju kamar mandi. Kupikir itu ulah Ceria. Aku meneriakinya, “Ya aku akan hati-hati. Jadi tolong jangan lakukan itu. Sangat tidak lucu”. Ceria kaget dan datang padaku dengan busa di tangannya, “kenapa?”
“Apanya yang kenapa?” aku marah sementara dia diam dengan heran.
“Suaramu tidak cocok untuk menakutiku seperti itu.” Kataku sambil berpikir mungkin dia sakit hati dengan ucapanku sebelumnya.
“Aku memangnya bilang apa?” Tanya Ceria.
“Hati-hati Talenta. Semacam itu.” Kataku lagi, “aku akan hati-hati. Dan aku selalu berhati-hati.”
Ceria yang mendengarku mengatakan itu kembali ke dapur untuk mencuci piring dengan wajah herannya. Masalah timbul lagi ketika dia sudah selesai menyusun rapi piring yang dia cuci itu. Begitu masuk ke dapur lagi dia melihat piring, gelas, mangkok, dan sendok-sendok itu sudah tercecer di lantai. “Len, ini ulahmu ya? Kamu pikir menyuci piring itu adalah tugasku?” “Ce, aku lagi sakit. Jangan teriak-teriak dong,” kataku dari dalam kamar. Ceria kembali menyuci piring yang tercecer di lantai itu. Dan sekali lagi menyusunnya di rak piring. Ketika aku masuk ke dapur dan melihat piring-piring di lantai, aku meneriaki Ceria “Ce, kalau gak suka, kamu bisa bilang. Gak perlulah sampai nyerak-nyerakin piring ini di lantai”. Ceria datang ke dapur dan “ulah kamu ya?”. Bagaimana mungkin dia menuduhku begitu. Huh..
Sekali lagi Ceria mencuci piring itu dan menyusunnya di rak piring. Tapi sebelum pergi dari dapur, piring-piring itu berterbangan dan jatuh ke lantai. Itu juga disaksikan olehku. “AAAAAAA” teriakku sambil menunduk, menutup mataku dan telingaku. Ceria yang melihatku begitu langsung mengambil semua piring yang berjatuhan di lantai. “Aku gak takut sama kalian. Sama sekali gak takut.” Katanya dan membawa piring itu untuk dicucinya kembali. Walaupun dia bilang gitu, jelas sekali di wajahnya ada rasa takut juga. Ketika Ceria sedang menyusun piring-piring itu, dia bilang sekali lagi “Cobalah melemparnya sekali lagi. Dan akan kucuci lagi.” Tapi anehnya tidak ada terjadi apa-apa setelah itu. Sampai Sari pulang. Aku dan Ceria menceritakan hal itu padanya.
Dua minggu berlalu sejak kejadian itu dan tidak ada hal aneh lagi yang terjadi. Aku jadi berpikir tidak mungkin ada kejadian lain lagi. Tapi ternyata aku salah. Karna malam ini, kami bertiga tidur di kamar ini. Aku berada ditengah-tengah mereka. Aku setengah sadar setengah bermimpi, seperti Sari sedang mencekikku dengan sangat kuat. Aku meronta meminta tolong. Tak ada yang datang untuk menolongku. Demi membela diri, aku mencekik kembali dia. Di sisi lain, aku mendengar suara Sari, “Len! Len! Sadar Len!” sambil menarik-narikku. Begitu sadar, ternyata aku sudah berada di atas Ceria dan mencekiknya. Aku melepas tanganku dari lehernya. Aku melihat dia batuk dan memegangi lehernya karna begitu sakit. “Apa yang terjadi?” tanyaku menoleh pada Sari. “kok nanya pula? Kamu ngecekik dia! Salah apa dia sampai kamu cekik gitu?” mendengar hal itu aku langsung pergi ke sudut kamar dengan menutup mata dan telingaku lagi. Kali ini aku gak teriak. Hanya saja aku gak percaya dengan apa yang sudah kulakukan.
Karna mereka, mungkin, takut akan apa yang akan kulakukan. Mereka memanggil Jefri dan Indra (sahabat kecil Jefri), untuk tidur di kontrakan kami. Merekapun mau. Tidak ada terjadi apa-apa setelahnya, hingga tiga minggu kemudian.
Tiga minggu kemudian setelah kejadian itu, mereka memutuskan untuk kembali ketempatnya masing-masing. Malam di minggu keempat setelah kejadian, Jefri menumpang tidur di kontrakan kami. Kami berbincang, seperti sehari-harinya kami ketika bersama. Jefri pergi ke toilet dan sekembalinya dari toilet dia bertanya, “Siapa cewek cantik yang lagi nyuci piring itu? Bagi nomornya!”
“Cewe yang mana?” Tanya ku karna menyadari kami bertiga ada di sini dan tidak ada tamu lain kecuali Jefri. “Apa jangan-jangan ada maling?” kata Sari. “Maling kok nyuci piring?” Tanya Jefri. “Oh iya ya?” Kata Sari lagi.
Karna dihujani oleh penasaran, Ceria pergi mengintip ke dapur dan kembali lari ke sini. “Wah.. Jelek banget.” Katanya pada kami bertiga, kemudian berbalik arah mengarah Jefri, “cantik apaan? Muka berlobang gitu!”
Menyadari itu, aku dan Sari histeris, “jangan-jangan?” yang langsung dijawab oleh Ceria, “Ya!”. Untuk memastikan kembali. Kami berempat mengintip kembali ke dapur. Ceria yang terlebih dahulu mengintip berkata, “masih ada” membuat Jefri ikut mengintip dan disusul olehku dan Sari. Sosok wanita itu menyadari kami yang sedang mengintip dan melirik kami dengan membelokkan kepalanya ke arah kami tanpa menggerakkan badannya seraya mengasih tunjuk wajahnya yang berlubang-lubang, matanya yang hampir copot karna tidak ada kulit yang menahannya, beserta giginya yang dipenuhi darah itu dengan senyumannya yang tak enak dilihat mata. 
“Jeph.. Cantik dari mananya sih? Kok gak ada cantik-cantiknya kulihat?” Tanya Ceria yang agak ketakutan setelah melihat sosok itu berbalik.
“Tuh..” Kata Jefri yang berdiri sambil senyum-senyum dan menunjuk ke arah sosok itu.
“Weii.. Ini posisi serius.” Talenta yang sudah merinding hebat dan amat ketakutan. Sementara yang lain sedang dalam penglihatannya masing-masing. Sari berkata, “Mana? Kok gak ada?” yang membuat kami bertiga spontan melihat ke arah Sari dan kembali melihat ke arah sosok itu. “kok ilang?” Tanya kami hampir berbarengan. “Apanya yang hilang? Emang gak ada dari tadi kok,” bantah Sari yang memang tidak bisa melihat hantu. Kejadian itu benar-benar membuat kami merinding hingga kami benar-benar mencoba untuk terjaga sepanjang malam. Tapi ternyata tidak ada yang terjadi setelah itu. Keesokan paginya setelah selesai sarapan, mereka tertidur pulas dengan TV yang masih menyala. 
Talenta mendapati notifikasi pesan di HP nya. Isinya, “Len, hari ini mama sama bapak mau ke Kota. Bapak sakit. Mama mau bawa bapak ke rumah sakit XYZ di Kota. Berangkat pukul 8 pagi.”
“Jam berapa ini?”
“Jam 2”
“Gila gila gila gila”
Talenta langsung menelepon mamanya. “Halo, ma. Mama udah nyampe mana?”
“Ini sudah di stasiun bus ABC”
“Ntar, aku jemput ya!”
“Kasih alamat mu aja. Kami naik taksi online aja. Nunggu kamu bisa nambah keriput mama di sini.” 
“Oh. Ok!” langsunglah kukirim alamat kontrakanku padanya. Walaupun aku agak sedikit takjub. Ini pertama kalinya mama datang ke sini.
“Hei.. Mamaku mau datang. Beres-beres bentar yuk.”
“Udah udah.. Kami aja yang beres-beres. Kamu jemput mama aja,”
“Mamaku udah naik taksi onlen.”
“Durhaka kamu, nak. Mama pertama kali ke Kota dan kamu bilang supaya naik taksi onlen saja?” ledek Ceria.
“Eh.. Dari pada ngeledek. Mending kita mulai beres-beresnya!”
“Oke”
Mamaku datang sekitar 30 menit kemudian. Kami sudah pesankan makanan via online karna kami gak masak. Sehabis makan, mama menceritakan penyakit bapak. Katanya, sudah sebulan ini hampir setiap malam muntah, siang menggigil, di bagian belakang leher ada 3 benjolan. “Trus sebelum memutuskan ke sini, mama gak bawa ke RS terdekat dulu?”
“Bawa lah.”
“Apa katanya?”
“Mungkin kelelahan, katanya.”
“Ada benjolan gitu, katanya, kelelahan?”
“Sebelum benjolannya tumbuh. Setelah tumbuh, mereka menyarankan RS XYZ. Karna, katanya, fasilitas pemeriksaannya lebih lengkap. Semacam gitu.”
“yaudah. Mama mau ke sana kapan? Hari ini atau besok?”
“besok saja. Kami masih lelah 6 jam perjalanan ke sini.” jawab bapak.
“Yaudah. Gapapa”
Besoknya, bapak diputuskan untuk opname. Kata dokternya, setidaknya beberapa minggu. “Yaudahlah, selagi menjamin kesehatan bapak,” pikirku.
Menyadari bahwa kami sedang libur semester, mama bertanya apakah mau pulang kampung atau tidak? Katanya, banyak yang mau diurus dan dirawat. Setelah beberapa adu argument akhirnya aku mengiyakan untuk pulang kampung.
Aku yang begitu penakut, di rumah yang cukup luas ini, maksudku, setidaknya ini lebih luas daripada kontrakan kami di Kota, hidup berdua bersama seorang abang. Memang tugasku tidak terlalu berat dibandingkan pekerjaan abang. Tapi justru itu yang membuatku takut. Bagaimana tidak takut? Abang pergi siang sampai tengah malam untuk mengerjakan pekerjaannya. Sementara aku hanya mengurus beberapa pekerjaan rumah dan merawat beberapa ekor anjing yang kami pelihara sejak aku kecil. Sangat kesepian, bukan? Dan juga menakutkan. Tapi memangnya siapa lagi yang akan membersihkan rumah, memasak, dan lain-lain selain aku? Mama gak mau mempekerjakan seorang asisten rumah tangga. Takut anak perempuannya jadi manja, katanya.
Dua minggu di sini. Aku dapat panggilan dari Om Budi pukul 23.20.
“Halo, nak.”
“Halo, Om.”
“Om gak mau lama-lama. Om Cuma mau bilang, kamu punya kain warna putih gak? Tapi putih polos.”
“Kayaknya gak punya om.” Tiba-tiba mama menjawab dari balik telepon, mungkin om sedang bersama mama, pikirku.
“kata mama kamu, di lemari plastik, di kamar mama, paling bawah.”
Aku sambil mencari dan “oh iya, ada.”
“dengar ya nak. Bapakmu ini bukan sakit biasa. Jadi om mau coba mengalihkan penyakit dari bapak ke anjing warna hitam kalian.”
“maksudnya gimana?”
“kalau sekarang diceritakan, sepertinya agak tidak mungkin.”
“maksudnya diguna-guna?”
“semacam itulah. Saya juga kurang yakin, itu adalah nama yang tepat.”
“Kalau begitu pasti ada pelakunya dong.”
“mari kita lihat bersama. Ketika penyakit bapak udah dialihkan ke anjing hitam itu, harusnya sih pelakunya akan merasa sesak hingga batuk berdarah. Biasanya sih seperti itu. Tapi ada juga tanda-tanda lain, yang munugkin bukan seperti itu. Pokoknya sekarang, bukan siapa pelakunya yang penting. Tapi kesembuhan bapak.”
“betul juga sih. Yaudah.”
“Nanti, jangan bawa anjing itu masuk ke rumah, ikat, supaya kamu tidak capek mencarinya. Begitu anjingnya mati, bungkus dengan kain putih dan segera kubur.”
“Baik, om”
Sekarang ini, kami punya 8 anjing peliharaan. Dan untuk pertama kalinya diusia SMA kelas 2 ku, aku punya anjing hitam, hasil anakan dari induknya. Satu-satunya anjing berwarna hitam semenjak aku mulai memelihara anjing semenjak SD.
Pukul 01.20, aku melihat pergerakan aneh dari anjing hitamku, seperti sedang meronta-ronta, suara aungannya yang benar-benar membuat merinding tak karuan. Sementara abangku tak kunjung pulang. Aku melihat dari kaca jendela ke arah anjing itu. Aku sampai menangis ketakutan.
Pukul 01.53, sepertinya anjing itu sudah mati bersamaan redupnya lampu rumah kami. Aku mengintip ke luar dari jendela, tapi karna terlalu gelap, aku tak melihat apa-apa. Kuputuskan untuk melakukan apa yang diperintahkan padaku. Dengan air mata yang masih mengalir, diiringi rasa takut yang amat luar biasa, aku keluar dengan membawa kain putih ditanganku. Langsung kubungkus bangkai anjing yang talinya sudah kulepas itu. Kukubur dia di galian tanah yang sudah kusiapkan sebelum jam 12 tadi. Pukul 02.20, aku selesai mengubur anjing itu, seketika lampu rumah kami hidup lagi. Hanya lampu rumah kami yang menyala, rumah tetangga lainnya malah padam, walau tak berselang 5 menit sudah nyala kembali. Aku yang masih di luar ini, dengan air mata yang tak berhenti ini, dan dengan rasa ketakutan yang luar biasa ini mendapat panggilan dari om Budi lagi.
“Halo, om.”
“Halo, nak. Apa kamu masih di luar?”
“iya, om.”
“Masuklah! Di luar dingin.” Aku masuk walau aku tidak merasa dingin karna rasa takutku yang lebih besar.
“Kamu takut?”
“iya lah. Ini pertama kalinya buatku.”
“Apapun nanti yang kamu dengar, tolong jangan kaget ya, nak.”
“Apa lagi ini, om?”
“Om juga ingin memberitahumu. Tapi om izinkan kamu untuk melihat dulu. Baru om jelaskan.”
Karna kejadian yang baru saja terjadi. Ditambah lagi perkataan om Budi membuat aku tak tau apa arti ngantuk. Lagipula kenapa abangku tak kunjung pulang? Kulihat jam di dingding, sudah pukul 5 pagi. “sudah pagi, rupanya” pikirku sambil memejamkan mataku, kali aja bisa tidur. Tapi karna tak kunjung lelap, akhirnya kuputuskan untuk keluar tepat di pukul 5.40. Aku berjalan menuju mini market, setelah memberi beberapa macam makanan, aku ke rumah paman. Satu-satunya keluarga bapak yang ada di daerah ini. Niatku untuk setidaknya sehari saja aku punya teman untuk diajak bercerita. Sudah dua minggu aku di rumah dan begitu sepi. Begitu sampai di depan rumah. Seperti biasa, kalau ke rumah paman, aku tak pernah mengetuk pintu. Maksudku aku langsung masuk aja tanpa permisi. Lagian selama ini mereka juga cukup baik padaku.
“Good morning.” Sapaku
“eh.. Kapan datang?”
“udah dua minggu.”
“kok gak datang? Sini sini sini.. kita sarapan. Kebetulan bibi masak banyak.”
“oke. Emang ini tujuanku.” Candaku.
“Bentar ya, aku mau ngasih pamanmu sarapan dulu.”
“emang paman sakit?” tanyaku karna melihat semangkuk bubur yang sudah disiapkan.
“Ya begitulah. Jam 2 tadi batuk-batuk terus. Sampai panik seisi rumah karna batuknya.”
“trus, batuk doang langsung makan bubur? Memangnya sejak lahir, paman gak pernah batuk?”
“Ya masalahnya, batuknya pakai darah.. Udah itu kental pula.”
Jjjjtaaarrrr… Seketika aku ingat perkataan om Budi. “Sejak jam 2 tadi?” tanyaku lagi demi memastikan.
“Hm..”
Aku yang kagetnya luar biasa berusaha bangkit dari kursiku dan pergi mengikuti bibi menuju kamar paman. Aku hanya mengintip dari balik pintu yang cukup terbuka lebar. Paman masih saja batuk-batuk. Dan setiap batuk selalu mengeluarkan darah.
Aku keluar dari rumah itu, masih dalam keadaan bingung dan tak percaya. Aku kembali ke rumah kami. Kutelpon om Budi. Tapi mungkin dia tidur makanya panggilanku tidak dijawabnya. Aku izin sama abang untuk pergi ke Kota, pagi itu, via chat.
Pukul 5 sore aku sampai di kontrakan. Aku ke kontrakan Cuma untuk mandi. Selesai mandi, ditemani oleh Ceria yang kebetulan gak pulang kampung, kami pergi ke rumah sakit. Ternyata bapak udah siap-siap mau meninggalkan RS itu. Kulihat juga om Budi di sana. Om Budi menjelaskan perdebatan tentang harta warisan orang tua sejak 2014 lalu, yaitu ketika aku masih kelas dua SMA, menyeret semua ini. Om Budi juga menjelaskan kenapa paman sampai melakukan ini.
“Syukurlah. Yang penting bapak sembuh.” Kataku pada bapak.
“Itu karna keberanian kamu.”
“tapi kalau pengetahuan om Budi gak berkata seperti itu, aku mana mungkin bertindak.”
“Ini semua memang sudah punya pertanda sejak kamu SMA.”
“Maksudnya om?”
“salah satu anjing yang kamu suka kan?”
“hm.”
“satu-satunya anjing berwarna hitam yang kamu pelihara kan?”
“wah.. Untunglah ada anjing warna hitam di rumahmu ya, Len” kata Ceria dengan polosnya.
“Lebih baik tidak usah ada anjing hitam lagi. Aku tidak mau ada anjing hitam dan kain putih lagi. Sangat tidak mau.” Kataku mengakhiri percakapan, mengakhiri kejadian, mengakhiri semua. Semua yang berbau tak sedap. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisi Lain Hidup

Damailah se-Damai Namamu

SURAT PENGUNDURAN DIRI-CERIA