Bulan di Malam Itu

Awal semester di kelas 2 SMAku, ketika aku masih menjadi seorang penyiar di salah satu Radio di desaku. Dan kali pertamanya aku melihatmu dan mengenalmu. Saat itu mana kutau bahwa kau akan jadi rekanku. Mungkin kau juga. Saat kutulis ini, aku sedang tidak menyesal untuk pertemuan kita itu. Justru aku berterimakasih karna banyak hal yang aku dapat sebagai pelajaran hidup darimu. Sebelum kau benar-benar pergi. Maaf, karna aku tak jujur tentangmu. Saat itu.

Semua berawal dari diperkenalkannya kau oleh seorang pengkhotbah kepada kami sebagai keponakannya. Kita mulai berjabat tangan satu sama lain. Karna kau seorang pria tampan dengan senyum manis nan ramah, rekan-rekanku banyak yang saling berbagi cerita denganmu. Dulu pikirku karna mereka punya sesuatu yang mau diceritakan, sementara aku tidak punya sama sekali. Lagi pula saat itu aku yang paling muda di sana. Jadi mungkin aku diacuhkan karna itu.

Hari-hari berlalu, kalian masih saja sama seperti pertama bertemu. Tertawa bersama, bekerja bersama, sedih bersama. Bahkan setelah kau menjadi salah satu dari kami, penyiar radio ini. Dan aku iri. Aku juga mau seperti itu. Tapi aku tidak punya bahan untuk diceritakan. Dan lagian aku adalah anak yang gak nyaman menceritakan kehidupan pribadiku bersama orang yang baru kukenal. Sementara aku berpikir demikian, kalian malah saling menertawakan cerita kehidupan kalian masing-masing. Seolah-olah mengejek adalah bagian dari candaan, bukan sebuah hinaan. Walau aku suka, tapi aku gak memiliki kepercayaan diri untuk ikut bergabung bersama kalian. Setidaknya itulah yang kurasakan.

Jika saja aku bukan anak 16 tahun saat itu. Jika saja setidak-tidaknya aku sudah 22 tahun. Mungkin aku juga akan ikut berbagi cerita denganmu. Demi bisa ngobrol denganmu, aku bahkan melakukan hal-lah aneh yang memalukan. Hahaha.. Mengingatnya saja membuatku malu. Dan ntah sejak kapan itu menjadi sebuah kebiasaan, kebiasaan memandangmu dibalik punggung ketika sedang tertawa bersama sekelilingmu, kebiasaan melakukan hal memalukan demi bisa ngobrol denganmu.

Tapi kau tau? Hal yang paling membuatku takjub kepadamu? Ketika kita sedang bersih-bersih dan ketika aku sedang mengepel lantai. Kau yang sedang membersihkan kaca saat itu, menghentikan pekerjaanmu sejenak hanya untuk menundukkan badanmu dan melipat kaki celana training ku yang panjang dan terkena lantai. Kau benar-benar tau bagaimana cara membuat jantung seorang wanita berpacu dengan cepat. Berapa hari aku senyum-senyum sendiri hanya karna sebuah adegan biasa itu? Bahkan sampai cerita ini kutulis pun masih saja sama. Aku masih saja tersenyum dengan hal itu.

Aku akan menceritakanmu tentang ingatanku tentangmu ketika aku sedang demam. Ini memang sedikit clisé. Tapi ini benar-benar terjadi, dan kau yang melakukannya. Sama halnya ketika sudah mulai memberanikan diri untuk bisa ngobrol denganmu. Walaupun hanya sebatas hal-hal penting karna aku masih saja sama seperti dulu, yaitu tidak punya bahan untuk dibecandain bersama. Dan kau juga masih sama seperti dulu. Tertawa bersama, sedih bersama, dan bekerja bersama mereka. Aku benar-benar iri.

Aku akan kembali pada ingatanku ketika sedang demam itu. Ketika aku merasa pahit di lidah ku dan ingin makan yang manis-manis. Saat itu bukan karna tidak memiliki uang sehingga aku tidak membeli sesuatu dari luar. Tapi aku, lagi-lagi, adalah anak yang paling muda di sana. Walaupun aku bisa jalan, tapi aku begitu malas untuk keluar dari gedung itu untuk membelikan makanan manis, sementara aku tidak mungkin meminta kalian untuk membelikannya. Setidaknya itulah yang kurasakan dulu. Melihat ada es balok di kulkas, aku berinisiatif untuk membuat teh manis dingin. Aku membawa teh manis dingin itu ke lantai 4, maksudku sambil menyiar, aku akan meminumnya. Dan kau datang, selayaknya memang ciri khasmu, dengan pakaian serba hitam mu itu, membuang minumanku dan menggantinya dengan air hangat. Kau bahkan menyuruhku untuk meminum itu walau dengan sedikit paksaan. Tapi aku menyukainya. Aku juga menyukai saat kau memberikan coklat hanya padaku. Ya walaupun bisa jadi karna kau menganggapku hanya seorang anak kecil dan memberikanku coklat itu. Ggggggggggggggggggggggggg maaf. Ternyata aku baru menyadari bahwa aku tidak menyukainya. Aku tidak suka kau memberiku coklat hanya karna kau mengira aku anak kecil. Aku tidak suka. Dan aku baru menyadarinya sekarang, setelah aku menuliskan ini dan mengingat masa lalu.

Sampai satu setengah tahun berikutnya pun masih sama. Aku masih saja iri dengan sikap ceriamu pada mereka. Ya walaupun, lagi-lagi, itu semua semata-mata karna aku memang tidak punya hal yang bagus untuk dibicarakan. Kau tau? Pada saat-saat seperti inilah aku tidak menyukai sifat introvert-ku ini. Tapi karna waktu terus berjalan. Aku lulus dari sekolah SMA ku. Dan di jalan mendekati jembatan ini, bersama jagung bakar di tanganku ini, aku duduk sambil mengingat banyak hal, tentangmu, tentangku, tentang teman-temanku, tentang pekerjaanku, dan harapan di masa depanku. Aku melihat-lihat sekeliling dan aku melihatmu duduk di belakang kursiku, mengarahku, memandangku.  Ketepatan seperti apa ini, pikirku. Lagi-lagi karna aku gak punya keberanian, membuat kau yang datang menghampiriku lebih dulu. “apa kau gak sadar bahwa dari tadi aku di sini?” tanyamu. “kalimat macam apa ini? Apakah aku harus menyadari setiap orang yang duduk di sini?” tanyaku dalam hati. Aku hanya diam ketika ditanya olehnya. Toh lulus SMA itu artinya aku akan merantau, pikirku lagi.

Aku berusaha menyangkal setiap apa-apa yang kupikirkan tentangnya. Karna pasti aku hanya seorang anak kecil baginya. Begitulah pikiranku saat itu. Beberapa bulan setelahnya, aku menerima informasi bahwa aku lulus di PTN. Aku tidak akan memberitahumu PTN mana dan jurusan apa. Lagian itu gak penting. Karna khusus untuk tulisan ini, aku ingin menceritakan tentangnya. Khusus untuk malam ini, di tempat ini, di bawah bulan itu, dan bersama jagung bakar di tangan kiriku ini.

Lima tahun berikutnya, dia mengirimiku sebuah kotak kecil. Ke alamat kontrakanku di perantauan ini. Jika kau menebakku belum wisuda, ya itu betul adanya. Tidak mudah untuk menyelesaikan skripsi. Karna untuk menyelesaikan skripsi, butuh kerja sama antar mahasiswa dan pembimbing, mahasiswa dan penguji. Dan aku susah mendapatkannya. Pembimbing harus membimbing, tidak asal coret dan suruh perbaiki. Penguji harusnya menguji, bukan mencari titik koma kesalahan penulisanku. Penguji dan pembimbingku sepertinya terbalik. Setidaknya itulah yang kurasakan.

Mari kembali pada kotak kecil yang telah kubuka ini. Kau tau hal-hal apa yang mengejutkanku? Aku melihat dalam kotak tersebut sebuah undangan dan cincin dengan namaku di dalamnya. Ada 8 surat dan tertanda pada 6 tahun yang lalu hingga 3 tahun yang lalu. Aku membacanya dari tanggal paling lama dibuat. Dimana dalam suratnya tertulis bermacam-macam kalimat. Mulai dari, “kenapa selalu menyendiri?”, “kenapa begitu menarik?”, “aku hanya bisa melihat punggungmu”, “tak bisa kah kau sesekali yang berbicara seperti ini padaku?”, “aku suka kamu. Menikahlah denganku.”, “kenapa kau tak kunjung pulang?”, “aku melihat seseorang yang penyendiri. Mirip sekali denganmu.”, “boleh aku menyukainya?”, hingga yang terakhir “datanglah. Aku mengundangmu.”

Wahai penguasa hati. Yang selalu tau isi hati seseorang. Pandai sekali kau mengotak-atik hati ini. Bagaimana bisa sesakit ini? Tak bisakah kau berbaik hati?
Wahai penguasa hati, yang selalu tau isi hati seseorang. Kalimat apa yang dia tuliskan ini? Apakah kau yang menumbuhkan hati baru baginya? Lalu bagaimana dengan hatiku ini? Pastilah kau juga, kan, yang mengosongkannya?
Kau selalu tau isi hati seseorang, tapi aku tak tau isi hatimu. Wahai kau penguasa hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisi Lain Hidup

Damailah se-Damai Namamu

SURAT PENGUNDURAN DIRI-CERIA