DIARY ANAK SKRIPSIAN
DIARY ANAK SKRIPSIAN
Desember 2018.
Sekarang aku sudah semester 7. Lebih tepatnya di
penghujung program magang kami yang disebut PPLT. Segala urusan telah selesai.
Maksudku, segala berkas dan tugas akhir magang sudah selesai. Tinggal menunggu
acara perpisahan dari sekolah ini. Ya! Aku mahasiswa Pendidikan.
Januari 2019.
Libur semester kuliah. Walau libur, tapi deg-deg-an,
siapa yang bakalan jadi dosen Pembimbing Skripsi (PS) ku kelak, pemikiran itu
mulai muncul di benak.
6 Februari 2019.
Sudah masuk kuliah. “Apakah dosen PS kita sudah
keluar?” tanyaku pada teman seangkatan. Dan jawabnya, “belum”. Di semester 8
ini, kami masih memiliki beberapa mata kuliah lagi. Kebetulan aku sudah
mengambil beberapa mata kuliah untuk semester ini, setahun lalu. Sekarang
tinggal 2 mata kuliah yang tersisa, ditambah skripsi jadi 3 mata kuliah.
29 Mei 2019.
Genap sudah 16 minggu terhitung sejak masuk kuliah.
Artinya, kami libur lagi. Lalu dosen PS? Tentu saja belum keluar. “siapa yang
akan menjadi dosen PSku?” kataku cemas. Sambil menunggu dosen PS, sambil
mencari kerja juga. Dan langsung mendapat pekerjaan sehari setelahnya. Di
sebuah restaurant di kotaku. Tentunya sebagai waitress.
Juni 2019.
Akhirnya, draft nama-nama dosen PS sudah keluar
walaupun hanya masih sebuah draft. Maksudku, mereka belum dapat SK sebagai
dosen PS untuk masing-masing mahasiswa. “Tak apa. Mari memulai konsultasi
tentang judul yang sudah kau temukan.” Pikirku. Karna aku seorang waitress
juga, jadi jika aku masuk kerja pukul 9 am, aku akan mengerjakan proposal ku
pada pukul 1-3 pm, yaitu ketika jam istirahat. Jika aku masuk pukul 12 pm, aku
akan mengerjakan proposalku pada pagi hari jam 7-9 am. Begitu seterusnya.
Juli 2019.
Bimbingan pertamaku di awal bulan. Aku sudah lupa
tanggal berapa. Dan aku tak membuat note nya. Yang pasti, judulku ditolak.
Bimbingan keduaku di pertengahan bulan. Judul kedua ku juga diterima. Senang?
Tentu.
Agustus 2019.
Di akhir bulan ini, aku bimbingan kembali untuk bab I
sampai bab III. Revisi? Banyak. Sangat banyak. Bagaimana ditempat kerja? Aku
dapat rekomendasi menjadi seorang customers service officer dari SPV kami.
Tentu saja aku mau. Setiap hari masuk jam 12pm. Pulang jam 10 pm.
Oktober 2019.
Yes! Akhirnya aku ACC.
November 2019.
Dosen PS ganti. “Bangsaaat.. Bangsat.” Kataku, tentu
saja dalam hati. Kucoba memberi judul ini pada dosen PS baruku, beserta bab I
sampai bab III yang telah mendapat tanda tangan dari dosen PS-1-ku. Lanjutkan?
Tidak. Disuruh cari judul baru. Seminggu kemudian, kuberi judul pertamaku yang
ditolak dosen PS lamaku. “semoga diterima,” kataku dalam hati. Dan tentu saja
ditolak.
2 Desember 2019.
Aku mendapat judul baru. Syukurlah, mereka memintaku
melanjutkannya. Aku memulai bimbingan dari bab I sampai bab III. Lebih tepatnya
Senin dan Kamis pagi aku selalu bimbingan. Walaupun day-off ku di tempat kerja
hanya Rabu.
19 Desember 2019.
Akhirnya ACC seminar proposal lagi. “semoga dosen PS
nya gak ganti lagi. Amin.”
23 Desember 2019.
Harusnya hari ini mereka memintaku untuk off. Karna
mulai 24 Desember 2019 sampai 2 Januari 2020 masuk terus tanpa libur. Jadi aku
meminta untuk hari ini tetap masuk, walau hari ini adalah ulang tahunku yang ke
22. Dan meminta pada SPV untuk diberi libur tanggal 4 Januari 2020.
4 Januari 2020.
Yes. Seminar Proposalku lancar walaupun banyak revisian.
Tak apalah. Dan setelah seminar proposalpun, aku langsung revisian pada setiap
dosen pengujiku. Tentu saja setiap pagi. Jika dosen pengujinya ada.
5 Januari 2020
ACC dari dosen penguji 2. Jadi tinggal mendapat tanda
tangan dari dosen penguji 1.
8 Januari 2020.
Day-off ku lagi di tempat kerja. “Pagi ini harus
selesai. Sore nanti harus jumpa dosen,” Pikirku. Setelah jumpa dosen, ternyata
masih ada revisian.
15 Januari 2020.
Setiap pagi sebelum pergi kerja, kukerjakan sedikit
demi sedikit revisianku.
23 Maret 2020.
“Wahai dosen penguji, menyelesaikan bab I sampai bab
III ku saja tidak sampai sebulan pada dosen pembimbingku,” kataku, lagi-lagi,
dalam hati, sambil mengingat wajah dosen pengujiku yang kebetulan adalah wakil
dekan I. Tapi syukurlah akhirnya dapat tanda tangan juga tadi pagi. Segera aku
mengurus surat izin penelitian. Walau ada kendala akibat peraturan yang
menyatakan kampus akan ditutup. Hanya bagian administrasi yang datang, walaupun
pegawainya berganti-ganti. Lalu bagaimana caraku untuk mendapat tanda tangan
setiap kepala bagian? Tentu saja bertanya, kepala bagiannya dapat jatah hadir
setiap hari apa. Dan aku sudah tak bekerja lagi.
Mei 2020.
Aku sudah menyelesaikan penelitianku. Saatnya bimbingan. Ku hubungi untuk pertama kalinya di bulan ini. Katanya, “kirim lewat email. Saya mau baca dulu.” Besoknya beliau ngechat, "Ceria, tolong besok antar ke rumah ibu, penelitian kamu!" Besoknya langsung kuantar. Seminggu kemudian kuhubungi, tak dibalas, tak dibaca. Seminggunya lagi, kuchat, tak dibalas, tak dibaca. Seminggunya lagi, kuchat, tak dibalas, tak dibaca.
Awal Juni 2020.
Kuchat, tak dibaca, tak dibalas. Kuchat lagi setelah beberapa hari, tak dibalas, tak dibaca. Sampai-sampai aku berpikir bahwa beliau sudah terkena COVID 19. Dan sedang dikarantina. Chatku tak dibaca, mungkin karena dia sedang di rumah sakit. Tapi lagi-lagi aku masih tetap menghubunginya via chat WA walaupun tak dibalas, tak dibaca.
23 Juni 2020.
Virus Corona ini menyulitkanku pada setiap urusanku.
Kampus ditutup. Tentu saja karna aturan Social Distancing. Tapi katanya masih
bisa bimbingan online. Itu kata kampus, bukan kata dosen PS ku. Tapi syukur
juga sudah ada aturan New Normal, yang katanya, yang penting pakai masker dan
sering-sering cuci tangan. Tapi sepertinya dosen PS ku yang menghindar. Mungkin
takut tertular. Yang pasti sejak bulan 3 lalu sampai, setidaknya, sekarang, aku
merasa PSku menghindariku.
Akhir Juni 2020.
Selama 3 hari aku sakit, tak nafsu makan. Tubuhku
kalau siang dingin, malam hangat. Kalau makan, mual-mual. Kepalaku sangat sakit
dan berat. Rambutku sudah beberapa hari ini rontok berlebihan. Kukira aku kena
COVID-19. Kucek dengan rapid test di salah satu RS di kotaku. Syukurlah,
negative. Karna biaya rapid test sangat mahal, bagiku. Aku jadi tidak mengecek
yang lain. Tapi dari gejalanya yang kulihat di internet, lebih memungkinkan itu
jika asam lambung, dan rontok berlebih akibat stress. Tapi karna aku masih
takut bahwa itu memang COVID 19. Aku mandi bisa sampai 5 kali sehari (setelah 3
hari mual-mual, tak nafsu makan dan peningku sudah mulai mendingan). Berbeda
dengan tempat-tempat lain. Kamarku, kubersihkan dan kupel setidaknya 3 kali
sehari dengan cairan desinfektan yang paling murah bagiku (wipol). Ehh.. gak
nyampe seminggu, aku merasa sangat, sangat, sangat sehat. Walaupun rambutku
masih sangat rontok. Bisa dibilang, rambutku yang dulunya cukup tebal menjadi
berkurang sangat drastis.
Awal Juli 2020.
Karna sejak Maret aku sudah tidak bekerja lagi. Walau
uang tabunganku semakin menipis. Aku masih selalu datang ke kampus. Dari pagi
hingga sore, dari Senin sampai Jumat. Tapi tak kunjung kulihat beliau berdua,
dosen PS 1 dan dosen PS 2 ku tersayang.
13 Juli 2020.
Aku mendengar kabar bahwa jika sampai 30 Juli tidak
sidang, maka harus bayar uang kuliah. Dan aku sudah 4 bulan tidak bekerja,
artinya sudah 4 bulan aku tidak menghasilkan uang. Untungnya ada sisa tabungan
dari sisa gajiku selama beberapa bulan ini. Karna sudah 4 bulan tidak bekerja,
uang tabunganku juga sudah menipis. Mungkin aku bisa bayar uang kuliah lagi
jika aku tidak makan bulan depan. Tapi mana mungkin aku sanggup tidak makan
selama sebulan atau bahkan lebih. Sementara aku adalah anak yang sudah tidak
pernah minta uang pada orangtuaku sejak SMA. Kenapa? Karna mereka sudah
meninggal. Dan aku memang sungguh tidak mau meminta pada abang-abangku, karena
mereka sudah menikah. Mereka punya keluarga baru. Jadi kuputuskan bulan ini
sudah sidang. Setelah sidang, aku akan cari kerja. “mudah-mudahan”. Sejak malam
ini, aku selalu berdoa sebelum tidur dengan menyebut nama dosen PSku,
meneteskan air mata, dan mengatakan “Tuhan, tolong.”
14 Juli 2020.
Aku kembali ke kampus, karna aku mendapat kabar di
grup WA ada dosen PS ku di sana. Walau ternyata yang kudapat tidak sesuai
dengan ekspektasi. “Besok saja, Cer. Saya sibuk hari ini,” katanya. Seperti semalam,
sebelum tidur, aku menyebut nama dosen PSku sambil berkata, “Tuhan. Tolong.”
15 Juli 2020.
Sejak pagi sampai malam aku berada di kampus. Tapi aku
tak kunjung melihatnya. Kuhubungi via chat WA. Tak dibaca, walau status
“online”. Malamnya, kembali aku mengucap “Tuhan, tolong.” Tentu saja sambil
menyebut namanya juga.
16 Juli 2020.
Kutunggu beliau hingga sore, dengan harapan bisa
bimbingan. Tapi NIHIL. Kuchat lagi hari itu. Tak dibacanya. Dan lagi-lagi,
“ONLINE”. Lagi-lagi aku, sebelum tidur, dan sambil meneteskan air mata,
menyebut, “Tuhan, tolong.”
17 Juli 2020.
Hari ini aku mendapat kabar bahwa, agar bisa sidang di
akhir bulan, maka harus mendaftar sidang paling lambat tanggal 23 Juli. Maka,
sambil menunggu dosen, aku menyelesaikan dan menyusun berkas-berkas pendaftaran
sidang. Siang hari, sekitar pukul 2 pm, kuchat kembali dosen PS ku. Dibaca? Ya!
Dibalas? Ya! Isinya? “Besok saya ke kampus, besok saja kita bimbingan. Hari ini
saya tidak bisa ke kampus karna harus menyelesaikan banyak data-data.” Jadi aku
pulang, tentu saja. Tapi sore harinya, sekitar pukul 5 pm, aku mendapat kabar
dari grup Wa-ku. Isinya, “Yang mau jumpa bu @#$% datang ke kampus. Soalnya, ada dia sekarang.” Dan aku berkata dalam hati lagi,
“wah.. Ngeri sekali dosen ini.”
18 Juli 2020.
Sejak pagi hingga sore, sambil menunggu dosen PS, aku
mengerjakan beberapa berkas untuk sidang. Tapi, sang dosen tidak datang. Dan
malamnya aku masih mengatakan, “Tuhan, tolong.” Dengan menyebut nama dosen
PSku.
19 Juli 2020.
Aku mendatangi rumahnya. Kulihat ada anak bimbingannya
di sana. Kutau, karna dia seangkatanku. Bedanya, dia belum seminar proposal.
Dan aku sedang menunggu ACC meja hijau. Kami, aku dan teman seangkatanku,
berkomunikasi tanpa suara, semoga kau mengerti maksudku. Saat itu pintu rumah
dosen PS ku terbuka, dia berada di dalam dan aku di luar. Inti komunikasi kami
adalah bisa aku masuk ke dalam atau tidak. Tapi dia menanyakan langsung pada
Dosen PS. Langsung dosen PS ku memegang HP dan tak lama kemudian ada pesan
masuk di HPku. Isinya, “Besok saya ke kampus. Besok saja bimbingannya.” Dan aku
pergi dari situ. Malamnya masih kulakukan hal yang sama.
20 Juli 2020.
Kutunggu kedatangannya seperti yang dia katakan pada
chat semalam. Dari pagi hingga sore, tak kunjung datang. Aku melihat
teman-teman seperjuangan yang menunggunya juga sudah terlihat lesu. Aku
bertanya pada yang di kiri ku, “sudah sampai mana?” “bimbingan penelitian. Dia
adalah validatorku. Aku gak bisa memulai bab 4 kalau gak di ACC sama dia,”
katanya padaku karna mengetahui bahwa aku memang tidak mengerti validator itu
sepenting apa pada skripsinya. Makhlum, aku bagian analisis literature,
sementara dia bagian pengembangan pembelajaran. Aku mengangguk, dan kemudian
bertanya pada yang di kananku, “kakak udah sampai mana?” “hanya minta tanda tangannya
saja. supaya tanggal 23 nanti bisa ngumpulin berkas untuk WISUDA. Tapi gak
dapat-dapat, udah sebulan aku mencari dan menunggunya.” Aku benar-benar
berpikir bahwa beliau sangat ngeri. Sangat ngeri. Kupikir, hanya aku yang
di-PHP-in, ternyata ada banyak.
21 Juli 2020
Seorang teman mengechat dosen PSnya yang kebetulan
adalah dosen PSku juga. Intinya kami satu dosen PS. Bedanya, beliau adalah
dosen PS 2 ku, dan beliau adalah dosen PS 1 temanku ini. Isi chatnya panjang,
intinya bertanya masukan beliau tentang bimbingan sebelum tanggal 23, karna
tanggal segitu adalah akhir pengumpulan berkas. Akhirnya beliau berkata dalam
chatnya, untuk datang besok pukul 10 am.
22 Juli 2020.
Pukul 9 am, kami sudah berada di kampus. Tentu saja menunggunya yang telang mengatakan bahwa dia akan datang pukul 10 am. Kami menunggu hingga makan siang berakhir. Namun tak kunjung datang. Aku sampai benar-benar menangis di kampus itu. Karna sudah sangat ketakutan bahwa besok pasti tidak mungkin bisa mendaftar sidang. Walau berkas-berkas yang dibutuhkan untuk sidang sudah beres, tapi tanpa tanda tangan beliau, mana mungkin aku bisa mendaftar sidang. Di samping ku juga sudah berjejer orang-orang yang ingin bimbingan, minta tanda tangan, dll, padanya. Tapi sepertinya hanya aku yang meneteskan air mata. “Dosen ini memang sangat ngeri. Sangat ngeri,” kataku pada yang di sampingku. “iya, benar. Seperti pembunuh berdarah dingin,” ada yang menyahutku seperti itu. “Aku benar-benar salut melihat kengerian dosen kalian ini. Karna dosenku udah kalian tau kan? Luar biasa ditakuti oleh mahasiswa di sini. Killer. Tapi masih membantu mahasiswanya pada tahap akhir,” Kata seseorang yang lain, yang sengaja datang menemani temannya untuk menemui dosen PS-ku ini yang kebetulan adalah dosen PS temannya. Akhirnya kami saling menceritakan kisah-kisah kami selama bimbingan sama dosen PS ku ini. Di antara kami berlima, anak bimbingan bu @#$%, ada 3 orang yang sampai meneteskan air mata. Salah satunya tentu saja aku. Hingga tak terasa sudah pukul 5pm. Dan kami hampir pulang. Aku menyempatkan diri melihat ke bawah dari sini, ke parkiran. Kulihat ada mobil baru datang. Berwarna putih. Dan kutanya, “itu mobil ibu @#$% kah?” Dan, ya! Itu mobilnya.
Dia naik ke atas. Karna prodi kami berada di lantai 3.
Kami langsung mengikutinya. Tentu saja beramai-ramai. Tapi dia menyebut namaku
dan nama seorang temanku, yang mengechatnya semalam, untuk masuk ke ruang dosen
bersamanya. Setelah aku menjelaskan hasil penelitianku dan kesimpulanku. Ada
beberapa yang dia ingin kutambahkan dalam hasil penelitianku, seperti argumen peneliti
tentang kenapa ini bisa terjadi dan kenapa itu bisa terjadi. Lalu, untuk
kesimpulanku sudah sangat aman. Dia menandatangani cover-ku, dan langsung
kuberi segala berkas-berkas yang perlu tanda tangannya untuk ditanda tangani.
Malamnya di rumah, aku langsung mengerjakan sesuai perkataannya. Lalu,
printing, jilid.
23 Juli 2020.
Daftar sidang online. Karna masih diwajibkan untuk
tidak berkumpul-kumpul alias social distancing. Pergi ke kampus untuk
menyerahkan semua berkas-berkas kepada TU prodi. Dan di minta datang besok
lagi.
24 Juli 2020.
Aku akan sidang online pada tanggal 29 Juli 2020,
tepatnya di hari Rabu, pukul 08.30. dan hari ini aku mulai memikirkan hal-hal
lain. Seperti, uang untuk menge-print, uang untuk beli snack sebagai ucapan
terima kasih, dan uang untuk beli kuota internet. Di sini lah aku bertanya
untuk pertama kalinya dan ntah pada siapa, “kenapa aku dilahirkan oleh keluarga
miskin?” Perasaanku sungguh tidak adil. Tapi aku tak tau ingin menyalahkan apa
atau siapa. Apakah aku, karna di PHK. Apakah Tuhan, karna menitipkan aku pada
keluarga “sangat” pas-pasan (walaupun sungguh-sungguh, aku begitu takut berkata
demikian. Karna sepertinya aku jauh lebih banyak membutuhkanNya). Atau, apakah
COVID 19, karna dia membuat banyak orang harus di PHK, termasuk aku.
Lalu, mari kita lihat selanjutnya akan seperti apa.
BTW, semalam pas sisiran, rontok rambutku sudah mulai berkurang. Syukurlah.
Komentar
Posting Komentar