HATI YANG (TAK) SEMPURNA

 

Izinkan aku memperkenalkan seorang kenalanku yang cukup ku kagumi dengan sekilas masa lalu yang sudah ia jalani, masa kini yang dia hadapi, dan masa depan yang telah dia tuliskan dalam benaknya. Seorang yang cukup hebat untuk dikatakan manusia, walau sering menangis dalam setiap dekapan seseorang yang mengasihinya. Aku tidak yakin bisa menyebut namanya dalam tulisan ini. Tapi aku tidak ingin memakai kata ganti orang ketiga seperti tulisanku sebelum-sebelumnya. Jadi kuputuskan untuk memberi nama Uwais. Kenapa harus Uwais? Karna aku suka Iko? Tidak ada hubungannya. Aku hanya ingin memberikan nama saja.

Pertemuan pertama dengan Uwais tepat di sebuah restaurant Suki yang cukup terkenal juga di kota ini. Saat itu, aku yang sebagai seorang waitress menghampiri dia yang sedang makan bersama keluarga kecilnya, yaitu istri dan anak laki-lakinya, untuk meminta kartu discount yang dimilikinya. Saat itu aku belum tau kalau masih ada pertemuan selanjutnya yang akan terjadi. Jadi aku mengabaikannya. Maksudku tidak terlalu tertarik ingin mengetahui nama, umur, jabatan, rumah, harta, dll. HAHAHA.. ya, selayaknya seorang pelayan terhadap customers mereka.

Tiga bulan terhitung dari saat itu, aku dipindah kerjakan ke sebuah café milik seorang yang sama. Di sana aku hanya beberapa hari, sebagai perbantuan, karna café tersebut baru dibuka. Sebagai café yang baru dibuka sudah bisa dikatakan bahwa itu cukup ramai sampai harus memanggil waitres/s dari cabang-cabang lain untuk membantu melayani di café tersebut.

Di sudut café, pada hari kedua, seorang yang samar-samar kuingat wajahnya, memakai kemeja abu-abu sedang berdiri di balik bar. Dia begitu mencolok karna tinggi badannya dan tentu saja wajah keturunan yang berbeda dari orang yang ada di bar itu. Tapi karna masih samar-samar, lagi-lagi aku masih mengabaikannya. Lagi pula, aku hanya perbantuan selama 2 minggu, pikirku saat itu.

Mungkin pada hari kelima, Uwais mulai menegurku lebih dulu. Tentu saja untuk minta bantuan, atau mungkin lebih tepatnya menyuruhku. Siapa sangka bahwa Uwais adalah salah satu direksi di grup Ikan ini. Fyi: Ikan adalah nama samaran untuk sebuah restaurant yang telah memiliki 21 cabang ini (sampai aku benar-benar keluar dari sana). Dia memintaku untuk mencicipi segala minuman baru yang dibuatnya. Mungkin dia sedang membuat resep baru. Aku hanya menurut dan selalu mencicipi setiap minuman yang dibuatnya.

Berselang tiga hari, “Kita belum berkenalan secara formal. Nama kamu siapa?” tanyanya padaku sambil mengulurkan tangannya seakan memberi kode padaku untuk menjabat tangannya. “Celly,” kataku singkat. “Selly?” tanyanya meyakinkan diri bahwa dia tidak salah. Aku yang tidak menyukai orang-orang memanggilku dengan kata Selly mempertegas dengan nada yang pantas “Celly. C-e-l-l-y” kataku lagi sambil mengeja.

“Jelly?” mungkin dia sedang bercanda denganku. Jadi akhirnya kuturuti.

“Panggil apa saja yang penting jangan Selly” kataku lagi.

“Aku panggil Cécile aja, ya!” katanya dan langsung kuanggukkan.

“Namaku Uwais” katanya. Ini pertama kalinya aku mengetahui namanya, tepat di depan bar café ini.

Kemudian selanjutnya kami mulai sering ngobrol tentang makanan dan minuman di café ini. Lebih tepatnya, sih, bisa dibilang training makanan dan minuman baru karna cafénya benar-benar baru buka dan tentu saja banyak karyawan yang masih tidak tau menu-menu yang ada. Dan tentu saja dia memanggilku dengan sebutan ‘Cécile’ (read: sesil).

Beberapa hari berlalu dari perkenalan kami, dalam training makanan yang dibawakan langsung olehnya. Dalam training ini, kami tidak dalam posisi yang sangat serius. Bagiku sih Uwais cukup pandai dalam membuat situasi tetap tenang namun tetap pada porsi serius. Aku tidak tau cara mengatakannya, tapi bagiku, ya, begitu. Di suatu moment dalam training ini, tepatnya saat Uwais menerangkan apa itu Tteokbokki. Seorang dari kami meneriakkan dengan sopan, “Pak, kami ga tau rasanya tteokbokki ini. Bahkan kami tidak tau bentuknya. Bagaimana kalau kita buat test food?” dan disahut oleh yang lain hampir bersamaan, “setuju”.

Akhirnya, Uwais memesankan tteokbokki ke kitchen. Kami memakan yang tteokbokki spicy mozzarella. “Ini yang disebut tteokbokki spicy mozzarella dalam menu kita.” Namun ketika makanan tersebut masuk ke mulut Uwais, Uwais merasa ada yang berbeda dan “coba kita beli 1 tteokbokki dari luar. Dan saya akan masakkan satu. Lalu kita bandingkan ketiga tteokbokki-nya.” Katanya sambil memesan dari online.

Makanannya sampai, kami mencicipi tteokbokki dari online tadi, kemudian dilanjut oleh tteokbokki buatan Uwais. Semua mengaku tteokbokki buatan Uwais adalah yang paling enak, kenyal dan rasanya benar-benar bikin nagih lagi. Yup, Uwais adalah pria hebat nan rendah hati yang perfectionist. Dia hebat di kitchen, hebat di bar, dan lebih luar biasanya adalah dia seorang fixer yang selalu menyelesaikan masalah pekerjaan dengan sangat bagus. Dia pria workaholic yang menjadi salah satu panutanku. Dia juga seorang penyabar dan penuh perhatian. Bukan berarti dia tidak seorang pemarah. Hm.. emosi dia cukup tinggi, namun aku tau alasannya sih. Itu disebabkan Uwais yang begitu mempercayakan apa-apa terhadap orang lain dan berekspektasi tinggi terhadap apa-apa yang dipercayakannya kepada orang lain tersebut. Jika ekspektasinya tidak sesuai apalagi sangat tidak sesuai dengan yang dia pikirkan, emosinya bisa keluar. Hm.. Begitulah dia dengan semua kepribadiannya.

Dua mingguku berakhir tak terasa karena selalu training dengan pak Uwais. Oh iya, aku lupa memberitahu kalian, setelah aku tau bahwa Uwais adalah seorang direksi di Ikan ini, aku selalu memanggilnya dengan sebutan “pak Uwais”, meski sesekali aku keceplosan dan memanggilnya “bang” karna dulu memang seperti itu dan sebenarnya Uwais tidak masalah dengan itu. Hanya saja, mana mungkin aku yang hanya karyawan biasa memanggil seorang direksi dengan sebutan “abang” HAHAHA

Kembali pada dua minggu ku yang telah berakhir sebagai perbantuan di café ini, hari terakhir aku tak melihatnya. Sebenarnya aku maklum sih, sebenarnya dia kan seorang direksi, pekerjaannya bukanlah di bar, jadi sangatlah wajar jika dia tidak di bar. Bahkan aneh jika seorang direksi selalu di bar setiap hari. Bukankah begitu?

Aku dipindah kerjakan ke outlet di mana jaraknya tidak cukup jauh dari café itu. Setidaknya selama seminggu, aku sudah bekerja di outlet itu hingga pada akhirnya aku dipanggil kembali ke Café. Kali ini bukan sebagai perbantuan lagi, namun memang sudah dipindahtugaskan ke sana.

Sekitar seminggu aku di café, muncul hal-hal yang disebut pandemic. Mulailah dari sana kita semakin was-was. Dua minggu berselang, café ditutup. Atau lebih tepatnya kami di rumahkan. Hingga sampai waktu yang akan ditentukan. Saat itu aku sedang menyusun skripsi. Lebih tepatnya untuk meja hijau. Saat itu sudah bulan Maret 2020.

Selama dirumahkan oleh atasan, aku memakai waktuku untuk berkomunikasi dengan dosen. Kadang online, kadang tatap muka. Setidaknya aku tau bahwa ini lebih sulit dari yang seharusnya. Alasannya adalah tidak bolehnya bagi mahasiswa negri sepertiku mendatangi rumah beliau untuk bimbingan skripsi, kita harus bertemu di kampus. Dan itu adalah mutlak.

4 Juli 2020 aku bertemu kembali dengan Uwais. Lebih tepatnya memohon untuk mencarikan kerja. Yang kebetulan, Uwais sedang berniat membuka café juga. Saat itu aku masih bertempur dengan skripsiku. Sementara aku sudah 3 bulan tidak bekerja dan tentu saja uang dalam tabungan sudah semakin menipis. Uwais menjanjikan dibulan November cafénya akan buka. Jadi, aku  meng-“iya”-kan.

17 Juli aku dipanggil kembali oleh Ikan, restaurant tempatku bekerja tadi. Sementara di waktu yang bersamaan aku dituntut untuk sidang 29 Juli 2020. Kuputuskan untuk tidak masuk ke Ikan lagi dengan memegang keyakinan bulan 11 nanti aku bakal bekerja di café milik pak Uwais. Hari ini, sambil menuliskan tulisan ini, aku menyadari bahwa aku benar-benar menyesal karna memilih untuk ‘diam’ ketika dapat panggilan dari Ikan. Akan kuceritakan alasan kenapa aku menyesal seiring dengan alur cerita ini.

24 Desember 2020 café milik pak Uwais sudah mulai beroperasi. Gaji? Sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan ketika aku masih jadi customers service di Ikan. Tidak ada uang makan, tidak ada uang pertanggal 15, juga tidak ada bonus. Tapi bukan itu yang membuatku menyesal. Aku akan benar-benar menceritakannya sesuai dengan alurnya. Lagipula aku menikmati pekerjaannya, sama seperti aku menikmati tulisan ini.

Dari sini aku meyakini, “jika kamu menikmati suasana, jika kamu menikmati pekerjaan, dan jika kamu menikmati lingkungannya, kamu pasti tidak akan mengeluhkan apa-apa lagi. Bahkan gaji. Toh yang lebih penting adalah pelajaran yang kita dapat. Gaji akan mengikut ketika kita semakin berkembang.”

Aku tidak akan menceritakan tanggal pertanggal bagaimana aku bekerja di sini, bagaimana kenyamanan yang kumaksudkan, bagaimana situasi lingkungan, apa yang selama ini kukerjakan, apa yang kulakukan makanya aku bisa sabar dengan gaji serendah ini. Oh iya, btw, setelah dua bulan aku bekerja di sini, aku dapat penambahan salary. Yaa, beliau melihat cara kerjaku yang cukup bagus, mungkin. Tapi tetap saja masih dibawah Ikan. HAHAHA.. bukannya aku tidak bersyukur sih. Aku bahkan sangat bersyukur. Setidaknya ketika orang-orang mengalami hal yang disebut PHK, aku masih bisa dikasih kesempatan menghasilkan uang. Setidaknya aku tidak mati kelaparan di jalan, kan? HAHAHA..

Kembali ke kenalanku yang ingin kukenalkan, setelah jadi karyawan di Café ini, Uwais banyak mengajariku apa-apa yang menurutku penting. Ada banyak hal-hal yang aku tidak dapatkan di Ikan, tapi Uwais memberitahuku dengan sedikit kesabaran yang dia punya.

Uwais memang sangat bagus dalam menempatkan diri pada situasi apapun dan di lingkungan yang seperti apapun. Perlu diingatkan kembali, pembelajaran yang diberikan Uwais bukan hanya untukku saja. Namun karna aku yang nulis, jadi tokoh utamanya harus aku. HAHAHA.. Aku suka kesombongan ini.

Dia memberikan beberapa pelajaran tentang dunia pekerjaan dan dunia kehidupan. Juga belakangan memberitahuku soal kehidupan pribadinya. Bagaimana dia dulu ketika masih sangat kecil, bagaimana kehidupannya di masa sekolah menengah pertama, bagaimana kehidupan keluarganya semasa itu, bagaimana dia menjalani hidup bersama ibu tirinya sehingga dia harus keras terhadap dirinya sendiri, bagaimana dia berdiri dengan bertumpu pada kedua kakinya dan berusaha tidak mengandalkan topangan pada saudara-saudaranya, bagaimana dia bertemu istrinya, hingga bagaimana dia menjalani hari-hari dengan istrinya. Yang seharusnya dia tutup rapat-rapat dari siapapun. Dia memberitahuku sepertiga dari hidupnya.

Mungkin karna hubungan kerja yang baik, kami tergolong dekat satu sama lain. Sekali lagi kukatakan dia memang punya hal yang disebut mampu beradaptasi dengan baik. Mampu memposisikan diri di situasi apapun dan di lingkungan seperti apapun. Itu salah satu yang membuatku salut padanya. Salah satu yang akan kujadikan role model. Yang setiap jejaknya akan kutiru. Ya, seperti itulah rasa hormatku padanya, dulu. Ya, dulu.

Dulu sebelum 23 Februari 2021 atau lebih tepatnya di hari Selasa pagi. Selasa pagi disaat aku dapat split untuk shift kerjaku. Selasa pagi yang membuat aku benar-benar tak tau harus berkata apa untuk hal yang begitu tiba-tiba. Selasa pagi untuk semua perubahan yang ada hingga kini. Selasa pagi yang mengacaukan pikiranku. Selasa pagi yang membuat aku tidak mengenali diriku lagi. Selasa pagi yang membuatku takut bertemu orang. Serta selasa pagi yang membuatku hidup dalam persembunyian. Hingga kini. Hingga, setidaknya, aku menuliskan ini.

Akhir dari tulisan ini, aku ingin menyampaikan, aku tidak menyesal terhadap pertemuan. Aku hanya menyesalkan perbuatan. Aku yang tak berani mengatakan tidak hingga aku terjebak dan tak ingin mengatakan tidak. Aku yang bimbang dengan pikiran dan perasaan yang tak serasa dan tak seirama. Aku yang tak ingin bersembunyi tapi menikmati persembunyian. Dan aku yang menolak keras namun membenci penolakan itu. Aku menyesalkan diriku sendiri.

Untuk terakhir kalinya. “Maaf!”

 

 

 

19 April 2021

Ceria

{Surat Perpisahan Tanpa Harus Berpisah}

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Damailah se-Damai Namamu

Sisi Lain Hidup

SURAT PENGUNDURAN DIRI-CERIA