DENADA ...

Denada ...
 
Dua bulan menganggur dari hotel X. Aku benar-benar berputus asa. Dua bulan ini aku ngotot pada diri sendiri untuk “hanya mengambil Front Office” saja untuk dilamar. Tapi tak kunjung kudapatkan.
 

Sudah berapa tetes air mata yang sudah jatuh? Sudah berapa lembar kertas yang terbuang? Sudah berapa uang yang keluar untuk bahan bakar motorku? Aku mencari ke mana-mana. Hingga pada akhirnya aku menyerah dan berpikir, “tidak apa lah, FB juga boleh. Daripada aku ga punya pemasukan sama sekali. Aku bahkan sudah tidak punya tabungan apapun. Sementara cicilanku banyak. Aku terlalu miskin untuk menganggur lebih lama lagi.” 


Kuputuskan untuk buat surat lamaran ke salah satu hotel yang membuka lowongan Bartender.

Kuantarkan lamaran tersebut ke hotel Z. Nama GM nya kutulis dengan benar. Maaf, aku belum menyebut nama hotelnya secara benar. Soalnya, hotel ini dibawah naungan grup hotel besar. Aku masih belum menyebut kota nya, juga. Meskipun ini adalah sebuat tebakan yang sangat mudah. Karna mungkin, pak GM punya aplikasi Linked In yang update. Siapa yang tau? Aku juga sudah tidak ingin mencari tau lagi. 


Besoknya aku menerima panggilan interview dari hotel ini. Selesai interview dari HR, aku diminta untuk menunggu. Sejam kemudian, aku melihat managerku yang dulu di hotel lamaku, sebelum hotel Z ini. Mungkin dia tidak melihatku, makanya dia tidak mengarahku. Jadi, kupikir dia sedang interview juga. Soalnya dia pakai baju putih hitam juga. Benar-benar seperti seorang yang sedang interview. 


HR memanggilku untuk masuk dan interview dengan FBM. Aku masuk ke ruangan kecil di sudut dan duduk. Tak berapa lama kemudian, muncul laki-laki yang sangat kukenal. Ya, pak managerku dulu di hotel lama.
“Lah, kamu di sini, Cer?”
“Iya, pak.”
“Sebenarnya kamu punya dua pilihan, Cer. Saya semalam sudah lihat CV kamu, sebenarnya. Dan di CV kamu, kamu juga pernah di FO. Jadi, saya ulang lagi, kamu punya dua pilihan. Kamu pilih FO atau
FB?”
“Pak, dua bulan lalu saya pernah ngelamar ke sini juga jadi FO. Tapi gada panggilan. Ketika sekarang saya buat lamaran di FB, besoknya ada panggilan. Dan lagipula saya sudah tidak melihat ada lowongan buat FO lagi.”
“Kalau begitu, artinya kamu milih FB, ya?” Aku hanya mengangguk.
“Rambut kamu masih merah?”
Sambil menunjukkan rambut, “Udah nggak, pak. Tobat, saya. Sudah saya cat hitam lagi.”
“Jadi begini, sama seperti sebelumnya, saya butuh kamu untuk naikkan revenue dan menaikkan guest voice FB”
Aku mengangguk, seolah mengerti tujuan bapak ini sama dengan ketika aku bekerja di hotel lamaku.
“Sama seperti dulu di X. Nama kamu sering masuk di guest voice dengan komen yang cenderung baik. Dan kamu juga tau bagaimana cara upselling. Paling saya minta kamu di sini jadi anak yang lebih aktif. Karna saya lihat, mereka cenderung monoton. Datang, melakukan jobdesc, ya kalau waiter dan waitress paling cuma clear up, antar makanan, selesai. Yang kasir, billing, bantu closing, selesai. Yang barnya juga begitu. Tidak ada yang coba pendekatan ke tamu, tanya bagaimana pelayanan atau
makanan ke tamu. Tanya apakah tamu satisfied atau tidak. Tidak ada yang melakukan guest relations. Bahkan sampai sekelas captain dan spv. Itu alasan saya langsung minta ke HR untuk memanggil kamu ketika saya lihat lamaran kerja kamu. Kamu mengenal saya. Tau bagaimana cara kerja saya. Dan saya juga sudah tau kamu”
“Copy, pak. Bisa, pak. Saya bisa.”
“Kamu ready ya untuk interview sama Gm.”
“Ready, pak.”
 

Menunggu sejam kemudian, sosok laki-laki lain pun tiba. Aku menduga itu adalah GM nya. Tidak langsung masuk ke ruang kecil tempatku menunggu tadi. Aku dengan jelas mendengar perdebatan mereka. Dan itu berlangsung lama. Perdebatan tentang, aku lebih cocok di FO daripada sebagai bartender. Aku dulu bukan bartender, melainkan barista, head bar. Jadi sangat tidak merupakan bartender sejati. Tapi, FBM butuh perempuan untuk ditempatkan di bar. Bar itu ga bisa hanya dihuni laki-laki. Sangat panjang pertimbangan itu. Namun, pada akhirnya pak FBM bisa meyakinkan sosok laki-laki itu.
 

Laki-laki itu pun datang ke ruangan kecil tempatku duduk sambil menunggu. Aku berdiri dan langsung dipersilahkan duduk olehnya.
“Perkenalkan, saya Danny Hartanto di sini sebagai GM. Saya sudah lihat CV kamu. Saya juga sudah baca semuanya sebelum masuk ke ruangan ini. Jadi kamu tidak perlu memperkenalkan diri lagi.”
“Baik, pak.”
“Kamu mau FO atau FB?”
“Saya buat dilamaran kerja saya sebagai FB, pak.”
“Tapi kamu juga melamar sebagai FO, sebelumnya. Dan CV kamu juga menyatakan kalau kamu bisa juga di FO.”
“Benar, pak.”
“Saya coba tanya kamu sekali lagi. Ini bukan pilihan berat. Tapi salah satu keputusan penting buat kamu. Apakah kamu memilih FB daripada FO? Kamu mau FO atau FB?” 

Dalam hati, aku ingin sekali menjawab FO. Aku sangat ingin menjadi bagian Front Office kembali.

Sudah kukatakan sebelumnya, aku sampai menganggur dua bulan karna hanya ingin mencari FO. Sampai uangku menipis. Nah, di sini, dia menawarkan untuk memberikan dua pilihan untukku. Aku hanya perlu untuk memilih satu dari dua pilihan itu. Fo? Atau FB? 

Dengan pertimbangan: aku melamar di FO dua bulan lalu di sini dan tidak ada panggilan sama sekali. Sementara, aku melamar di FB, besoknya langsung ada panggilan interview. Aku juga sudah mengatakan ke pak FBM ku untuk memilih FB, meskipun karna aku tidak tau ternyata lowongan untuk FO masih dibuka. Lagipula, aku masih punya ciri khas Indonesia, memiliki perasaan sungkan. Aku sungkan kepada FBM ku karna sudah diinterview, dan langsung diberi mandat meskipun aku belum tentu masuk. Akhirnya, aku menjawab, “FB, pak.”
“Baik. Saya pikir cukup untuk interview hari ini. Apa kamu ada pertanyaan?”
“Tidak, pak.” 

Kami pun mengakhiri sesi interview ini, meskipun sesunggunya aku agak sedikit bingung. Kenapa interview hanya seperti ini? Kenapa dia tidak bertanya, apa kira-kira tanggungjawabku jika sudah masuk di bar nanti? Berapa lama aku bisa beradaptasi dengan bar baru? Berapa lama aku bisa dilepas untuk menjadi bartender sendiri? Atau apapun yang kira-kira mungkin untuk ditanyakan.

Seminggu kemudian ada telepon dari HR, memintaku untuk melakukan medical check up. Dan langsung kuselesaikan dua hari setelahnya. Seminggu kemudian HR memintaku untuk memberikan dokumen pendukung yang dibutuhkan, karna pada saat interview aku hanya memberi lamaran kerja dan CV. Dan langsung kuberikan besoknya. Hingga seminggu kemudian aku dipanggil lagi untuk mulai bekerja tepatnya di tanggal 27 Juni 2024, sebagai bartender. 

Semua berjalan normal, hingga pada saat tanggal 2 Juli 2024, pukul 5 sore. Aku diminta untuk stand by sendiri di bar. Lebih tepatnya di luar bar, di dekat cake showcase. Kupikir aku diminta standby di sana karna ada seorang pria yang sedang berdiri di samping showcase dan melihat-lihat cake.
Kudekati pria itu dan kutanya,
“Sore, pak, mau kita bungkuskan 1 cake nya?”
“Ga usah.”  
“Oh, yaudah pak. Oh iya, bapak stay di sini?” niatku mencairkan suasana.
“Iya.”
“Berapa malam, pak?”
“Sama istri saya.” Menunjuk istrinya yang sedang mengantri di Front Desk untuk mengambil key card room, mungkin, sambil menoleh ke arah kami. Pikirku dia tidak mendengar pertanyaanku dengan benar.
“Oh, cantik, pak. Bapak dari mana?”  
“Sama istri saya.” Sambil menunjuk istrinya kembali yang sedang mengantri di Front Desk.
Dua pertanyaan dijawab dengan aneh. Kupikir dia sedang menolak untuk berbicara lebih lanjut. Sehingga akupun izin.
“Baik, pak. Izin ya, pak, saya tinggal.” Aku pun pergi dari hadapan pria itu. 

Besoknya, rekan kerjaku alias seniorku datang dan berkata, ”Cer, jangan pernah bicara sama suami ibu itu. Bahkan kamipun, orang-orang lama, gada yang bicara sama suaminya. Dia ga suka.”
“Oh, oke kak.” Tanpa tau suami siapa yang dia maksud. Berdasarkan ingatanku, ada satu pria yang kuajak ngobrol dan dilihat oleh seorang wanita dari front desk. Jadi secara otomatis, aku menduga bahwa yang tidak bisa diajak bicara itu adalah pria yang sore lalu itu.
“tolong kasihkan dulu teh ke ibu yang duduk di dekat showcase sana. Ga pakai gula.” 

Kuambil tehnya. Ku-serve ibu nya. “Silahkan, bu. Tehnya, ga pakai gula kan? Dari kakak sana.” Sambil nunjuk si seniorku tadi. Wanita itu tidak menjawabku. Tapi hal itu sudah biasa terjadi di restoran. Jadi aku tidak terlalu menghiraukannya. 

Sore harinya, pria itu datang lagi ke smoking area yang ketepatan di sebelah kanan bar. Aku ingat untuk tidak bicara dengan pria itu. Jadi aku tidak menyapanya. Aku hanya beberes di dalam bar. Tidak lama kemudian, wanita itu datang lagi. Kusapa dia, “Afternoon, bu. Mau sambil ngopi?” sapaku
karna dia menggunakan hijab. Tidak mungkin kutawari cocktail. Dia berjalan saja tanpa membalas sapaanku atau bahkan melirikku. Aku merasa aneh. 

 Tidak berselang lama, dia pergi lagi dan datang lagi membawa dua orang, mungkin kerabatnya atau temannya. Kusapa lagi, kubukakan pintu outdoor dan menyodorkan menu beverage, “Afternoon, bu. Sambil ngopi kita? Atau snack nya?”
“Nanti dulu ya,” jawab wanita satunya lagi.
“Baik.” 

Aku langsung beritau SPV dan FBM  ku tentang permasalahan ini di hari yang sama, di menit yang berbeda. Dan jawaban mereka mirip, kira-kira begini “Gapapa. Tujuan kamu kan untuk upselling cake. Dan kamu juga tidak mengenal tamu ini karna masih baru di sini. Nanti itu semua bisa dijelaskan
kok. Ga ada yang salah di situ. Kamu tenang saja.”
…. 

Semua kembali berjalan normal hingga tiba tanggal 15 Juli sore, sekitar pukul 4. Kami diminta untuk briefing. Tentu saja aku datang ke tempat perkumpulan briefing. Sambil menunggu FBM kami, aku memainkan ponsel, membuka grup whatsapp. Aku tau ada seorang tamu wanita yang sedang berbicara sambil bercanda dengan senior-seniorku yang lain. Tapi, karna aku baru datang, jadi aku lebih focus
pada hp ku sambil menunggu FBM kami. Lagi pula, saat itu, aku sudah tidak begitu kenal dengan wajahnya. 

Tidak berapa lama kemudian, FBM kami datang. Karna FBM kami baru, senior kami pun memperkenalkan FBM tersebut ke wanita ini. “Pak, perkenalkan, ini ibu Denada tamu regular kita. Sering stay di sini. BU Denada, belliau ini FBM kami.”
“Perkenalkan, nama saya James” Sambil mengulurkan tangannya, kode untuk bersalaman.
“Saya Denada”  membalas salam FBM. “Saya mau bertanya. Bagaimana roll play jualan cake di sini?”
“Untuk upselling cake…” dipotong oleh wanita tadi.
“Apakah dengan cara memaksa, sambil genit-genit?” 

Aku belum menyadari pembicaraan ini, karna focus membaca Whatsapp group yang sudah teramat banyak isinya itu.
“Tidak ada tujuan genit-genit, bu. Tapi memang yang namanya upselling ada beberapa kata atau pertanyaan yang harus dikeluarkan untuk melakukan pendekatan ….”
“Apakah dengan cara memaksa sampai membuat tidak nyaman, dan bertanya dari mana? Nginap di sini atau tidak? Berapa malam nginapnya?” 

Deg.. Aku langsung tersadar. Kuletakkan hp ku di atas round table, kulihat wanita itu sebentar untuk memastikan wajahnya. Karna jujur saja, aku bahkan sudah lupa atas kejadian lalu. Lalu kutundukkan kepalaku, harusnya mampu untuk mengurangi amarahnya. Daripada aku berdiri dan bicara. Sepertinya akan lebih membuat dia berkoar-koar. Lebih baik menundukkan kepala seolah menunjukkan rasa bersalah. Ya, namanya juga kerja di hospitality. Siapapun yang salah, tamu adalah yang paling benar. Siapapun yang salah, kita akan selalu yang meminta maaf.  
Kembali, FBM ku menjawab, “Seperti yang saya katakan sebelumnya, ada beberapa pertanyaan yang bisa…”
“Saya benci lihat dia.” Memotong pembicaraan lagi sambil menunjuk ke arahku menggunakan tangan kanannya.
“Saya mohon maaf ibu, untuk ketidak nyamanannya…”
“Saya benci lihat dia.” Menunjuk kearahku lagi dan memotong pembicaraan FBM kami.
“Ibu, saya mohon maaf. Akan saya tegur dia dan berikan sanksi…” 

Wanita itu pergi sementara FBM kami masih belum selesai berbicara. Kami yang berkumpul di situ terdiam sejenak. SPV ku, langsung berkata, “Pak, sebenarnya ini sudah pernah disampaikan Ceria kepada saya. Saya bilang tidak apapa. Karna memang tamunya agak sedikit rewel dan suaminya juga seorang pendiam. Memang kami saja pun tidak ada yang bicara dengan suaminya. Tapi mengingat Ceria masih baru, saya bilang kalau nanti ibu nya komplen, saya bisa jelaskan ke pak James.”
“Kita briefing saja dulu, nanti kita bahas lagi.” 

Kami pun briefing. Tidak berapa lama selesai karna FBM kami ada meeting guest voice jadi beliau pergi terlebih dahulu. Dan si captain bilang, “pelajaran untuk teman-teman semua. Jangan bertingkah berlebihan.” 

Spontan kupotong pembicaraannya, “Berlebihan gimana, bang, maksudnya?”
Yang langsung direspon oleh seniorku yang cukup dekat dengannya dan sekaigus yang pernah memintaku untuk tidak bicara dengan suami wanita itu, “Sebentar, ya, biar aku yang luruskan. Emang ibu itu ga suka ada yang bicara sama suaminya. Dan suaminya juga pendiam. Makanya kubilang, Ceria jangan lagi. bicara sama bapaknya.” 

“Tapi kan aku memang gada lagi ngomong sama bapak itu.” Langsung dihentikan oleh captain kami. Aku berpikir, mungkin niatnya baik. Supaya jangan sampai kami berantam. Tapi aku juga tidak begitu suka dengan pernyataan si captain. What the hell, awal aku masuk, aku langsung dikasih mandat untuk upselling dan perbanyak guest voice. Aku dimandatkan untuk melakukan guest relations. Selain dari jobdesc ku sebagai bartender. 

Aku tidak sentuh pria itu. Tidak pernah ada usaha untuk menggodanya. Apa itu genit-genit? Apa dia kucolek? Apa aku membuka kancing bajuku di depannya? Apa aku menjulurkan lidahku? Aku juga tidak bertanya nomor hpnya dan berusaha menghubunginya diam-diam. Meskipun bisa tapi wajahku terlalu buruk rupa untuk melakukan hal itu semua. Tidak cocok sama sekali. 

Setelah FBM ku selesai meeting, aku pun dipanggil. Kalau di sini bahasanya ‘didudukkan’. Aku didudukkan di room dining VIP. “Apa yang terjadi, Cer.”
“Jangan pernah bilang, pak, kalau saya tidak pernah menceritakan ini ke bapak. Setiap ada case, pasti akan saya ceritakan kepada superior saya. Dan saya ceritakan ini ke bapak selaku FBM dan ke pak Andre selaku SPV.”
“Coba ceritakan ulang.”
Dan aku menceritakan ulang, persis seperti yang sudah kuceritakan tadi. Tapi aku tidak ingat, tanggal itu adalah tanggal 2.  
“Makanya aku bingung, kenapa aku dibilang memaksa? Kenapa aku dibilang genit? Toh dua kali aku nanya tapi jawabannya aneh, langsung kuhentikan juga. Aku langsung pergi.” Kataku informal.
“Tapi, kamu ada nggak, genit-genit?” 

Aku diam sejenak, mencoba mengingat gerak gerikku ketika  berbicara dengan pria itu. “Pak, kalau senyum adalah genit. Maka aku ada senyum. Kalau ketawa adalah genit. Maka aku ada ketawa.  Dan aku bisa pastikan, tidak hanya kepada bapak itu saja. Ke semua tamu pun akan kulakukan hal yang sama.” 

“Yaudahlah, gapapa. Kadang-kadang ada juga tamu yang begini. Saya juga cukup kaget sih, tadi. Paling, jadi pelajaran aja. Kedepannya, jumpa bapak itu, gausah disapa lagi. Fokus aja pada pekerjaanmu.” 

Besoknya, aku masuk pagi. Sebelum aku ke Bar, aku harus handle sarapan dulu di resto.
Biasanya sampai jam 10 pagi. Tapi hari ini, masih setengah Sembilan, SPV ku bilang, “Kembali ke bar, Cer. Prepare bar saja. Bentar lagi dia turun, soalnya.” Aku langsung mengerti dia yang dimaksud, siapa? Aku langsung pergi ke Bar. 

Sorenya aku mendengar kabar, wanita itu melapor ke FOM pagi tadi. Dan FOM membawa ke morning briefing HOD. Sehingga GM pun mendengar berita itu. GM memanggilku ke officenya. Ternyata
sudah ada pak James di sana.
“Kamu ada masalah apa sama bu Denada?” Tanya GM begitu aku duduk.
“Tidak ada, pak.” Jawabku
“Tadi saya sudah mendengarkan banyak komen dan komplen dari beliau.” Kata GM yang hanya kubalas, diam. “Coba jelaskan apa yang terjadi.”
“Saya tidak ada masalah apapun dengan bu Denada, pak. Saya bahkan hampir lupa dengan wajah ibu itu karna sangat sedikit bagi saya waktu untuk bertemu ibu itu. Tapi, saya ada menawarkan cake ke suami ibu itu.” Kulanjut dengan penjelasan serupa seperti tadi.
“Tanggal berapa itu terjadi?”
“Tidak tau, pak. Tapi saya ingat, saya baru banget. Saya masih berbaju putih saat itu.”
“Kamu sebelumnya dari mana?
“Dari X, pak. Sebagai FBS.”
“Sebelumnya lagi?”
“Dari Y, pak, sebagai FO”
“Tuh, kan, pak James. Saya sudah bilang. Dia itu basicnya FO. Dia masih terbawa-bawa dengan FO nya. Menanyakan apakah menginap di sini? Berapa malam? Berasal dari mana? Nginap sama siapa? Itu ga boleh. Terserah tamu nya dong, mau nginap sama siapa aja.”
“Pak, mohon maaf, tapi saya tidak pernah nanya nginap sama siapa. Saya juga tau itu tidak bisa, pak. Itu sebuah kode etik.”
“Trus, yang tadi dia bilang sama istri saya? Apa itu?”
“Saya ada bertanya. Bapak stay di sini? Iya. Berapa malam, pak? Sama istri saya.”
“That’s the point.”
“Saya berpikir kalau bapak itu tidak mendengar saya dengan baik, pak. Jadi saya bertanya hal lain. Bapak dari mana? Sama istri saya. Setelah menyadari dua pertanyaan dijawab dengan aneh. Saya pamit. Dan langsung pergi.”
“apakah kamu menanyakan hal yang sama ke semua tamu?”
“Ya, pak.”
Diam sejenak.
“Kamu yakin, tidak bertanya dia menginap sama siapa? Coba kamu ingat-ingat lagi.” Tanya FBM ku.
“Pak, di FO saja itu tidak bisa ditanyakan. Hal-hal yang saya tanyakan itu adalah hal-hal yang bisa kita lihat dari computer saat registrasi, pak. Kalau kita tambah dengan berasal dari mana? Misal dia bilang dari Maluku atau dari Makassar atau dari manapun yang jauh dari sini. Kan bisa kita sugest untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di sini, pak. Atau kita bisa menawarkan makanan-makanan khas kita, yang hotel kita punya. Itu adalah chit-chat standard, pak.” Jawabku.
“Tapi, yang kamu jelaskan dan yang ibu itu jelaskan sangat berbeda.” Timpa GM yang kubalas diam. “karna yang kamu dan ibu itu jelaskan berbeda, maka saya akan buka form check CCTV.”
“Boleh, pak.”
“Ingat, tanggal berapa?”
“Saya benar-benar ga ingat, pak.”
“Ada lagi yang mau kamu sampaikan?”
“Tidak ada, pak. Tapi saya mau ngulangin aja, pak. Ga mungkin saya berlaku aneh-aneh, sementara ada wajah yang harus saya jaga.”
“Yaudah, kamu boleh kembali.”
“Baik. Permisi, pak.” Sambil meninggalkan ruangan itu. 

Aku pergi meninggalkan ruangan itu, tapi langsung disuruh nonton dan mendengarkan presentasi dari tiap-tiap department oleh seniorku. Dengan kata lain, aku belum bisa pulang. Aku pergi ke lantai satu, ke ruangan yang sudah ditetapkan. Perjalanan ke sana, sambil ngobrol-ngobrol, banyak orang-orang yang bilang, “Kamu mau nggak jadi selingkuhanku?” “Pacaran itu ga selamanya sama single. Bisa juga sama duda, bisa sama suami orang.” “Foto yok, biar ada kenang-kenangan. Kali aja setelah ini bisa lebih.” “Oh.. Pantas saja, bibirnya merah ahh.” Dan tentu saja kubalas diam. Masa aku marah? Anak hospitality itu adalah orang yang ga bisa marah. Bahkan mereka akan minta maaf meskipun mereka
tidak salah.  

Singkat cerita, setelah ini, akupun disembunyikan ke banquete. Seorang bartender, yang kontraknya ditandatangani menjadi seorang bartender, mengerjakan pekerjaan banquete. Polishing, set up, masukkan dan buka cover chair, ganti table clothes dll. Ga masalah. Sama sekali ga masalah. Semua pekerjaan tetap sama, bedanya hanya tidak menyentuh resepi minuman saja. Tidak akan ada yang berubah drastis. 

20 Juli 2024, aku bertanya kepada FBM, “Apa hasil pemeriksaan CCTVnya, pak?” Jawabnya, “Saya belum tau, pemikiran setiap orang itu berbeda.” Dan langsung pergi meninggalkan aku seolah tidak ingin aku bertanya lebih jauh.
Tanggal 22 Juli 2024, aku dipanggil ke HR. Kami duduk bertiga, asst HRM, FBM dan aku. Asst HRM memulai kalimatnya.
“Kamu ada menyinggung salah satu guest. Reguler guest. Apa yang kamu lakukan setelah itu?”
“Apakah bapak tau ceritanya?”
“Coba.” Kode untukku agar menceritakan hal itu lagi.
Sambil menceritakan kejadian yang sama persis seperti sebelumnya. Kemudian pembicaraan lain juga dibicarakan. Hingga, 

“Setelah melihat CCTV, kamu ada memperbaiki akrilik yang sudah rapi. Kamu geser lagi, sedikit lagi. Kemudian kamu ada berjalan maju mundur beberapa kali. Merapikan meja, which is good. Terus kamu ada melihat bapak itu lagi. Seolah-olah kamu mencari kesempatan untuk bicara dengan bapak itu lagi.” Kata FBMku, yang otomatis aku kaget dong, kembali aku membalasnya diam sambil berusaha mengingat tindakanku lagi. “harusnya ketika kamu sudah mengatakan, saya pamit ya pak, kamu tinggal pergi. Dan berdiri tegak saja. Tidak usah berjalan maju mundur dan bahkan merapikan akrilik yang sudah rapi.” 

Mendengar FBM ku berkata aneh, dan benar-benar sangat aneh. Aku berusaha memahami. Aku berceloteh di dalam hati, “Lah, bukannya pak Andre pernah bilang, aku pernah dipanggil oleh owner karna meja ga rapi, ga simetris, akrilik ga sejajar. Jelas-jelas perkataan itu dikatakan SPV pada saat briefing dan si FBM ada di briefing itu. Which is dia pasti mendengarkan komen nya si owner kan? Bukannya FBM ini bilang, aku harus aktif, jangan diam aja. Kenapa merapikan meja, menggeser akrilik
dikit dan berjalan maju mundur jadi sebuah kesalahan?” Benar-benar aneh. Celotehku lagi dalam hati, “Lagi pula aku dibilang jual cake dengan cara memaksa sambil genit-genit. Artinya itu dilakukan hampir
bersamaan. Bukan dilakukan dalam jangka yang cukup berjarak. Mana ada orang ngerapikan akrilik disebut genit-genit. Emangnya gimana cara jalanku makanya disebut genit? Emang gimana caraku
merapikan meja makanya disebut genit. Kenapa komplenan ga masuk akal bu Denada direspon dengan jawaban ga masuk akal dari menejemen?” Demi apapun, ini sangat aneh. 

Karna aku diam terlalu lama, FBM ku pun melanjutkan kalimatnya, “Diawal perjumpaan kita, saya sudah bilang ke kamu untuk kamu bisa bantu saya menaikkan revenue. Tapi karna melihat apa yang terjadi dan track record ibu itu juga tamu regular yang sudah spent banyak uang di sini. Maka kami perhari ini memutus kontrakmu sampai di sini.” 

Jleb, FBM ku, aku kehabisan kata-kata. 

Hari itu juga aku clearance, dan clearance pasti dong butuh tanda tangan si FBM tadi. Aku kembali menjumpai FBM itu di office nya. Saat aku minta tanda tangan, dia berkata: “Maaf, Cer. Yang kau lakukan ga salah sama sekali. Kau hanya bertemu dengan orang yang salah saja. Dia tamu regular, GM kita masih baru, dan aku juga  masih baru. Tolong jadikan ini pelajaran hidup aja. Paling nanti kalo ada informasi loker, aku bakal kabari kau.” Sebenarnya satu hari sebelum hari ini, senior-seniorku yang lain juga sudah membahas ini. Hampir persis dengan apa yang dibilang managerku, “Ini kan judulnya, jualan kue. Dan pertanyaan-pertanyaan itu masih hal yang wajar. Ya, tapi perusahaan kan mikir, daripada revenue dan citra perusahaan yang berkurang mending anak baru yang ditendang.”
 

Hari itu, aku menceritakan semuanya sama satu sahabatku, yang semua tentang keburukanku dia tau. Dan aku mendapati jawaban yang mirip. 

“Kau ga salah. Perusahaan sedang menyelamatkan wajah dan bisnis mereka. Lebih simple cut off staff ketimbang bisnis terkendala karena sesuatu hal. As simple as that.” “Staff resign/cabut, gampang tinggal buat loker, kalau bisnis terkendala? Buset, lama recoverynya. Ingat kasus McD/Eiger/dll?” “saranku, kembangin self improvement aja.”
 
 

 

“Hai, ibu Denada. Semoga panjang umur, semakin mudah bahagiamu, dan lancar rezekimu.
Tapi aku mohon, semoga kita tidak bertemu lagi. Demi perjalanan hidupku. Demi karirku.”

-Ceria

250724.1822

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisi Lain Hidup

Damailah se-Damai Namamu

SURAT PENGUNDURAN DIRI-CERIA